Menyoal Tujuh Pernyataan Ekstrem Menkes Abal-Abal

Oleh : Pudji Widodo

Bermula dari unggahan di facebook

Pada tanggal 9 Januari 2020, akun facebook Anugerah Terindah mengunggah informasi tentang tujuh pernyataan ekstrem Menteri Kesehatan RI Letjen TNI (Pur) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) yang kemudian viral di media sosial dan salinannya masih beredar sampai saat ini di grup Whatapps. Bila penerima informasi tersebut bersedia menelusur dari sumber berita yang lain, maka dengan upaya cermat tersebut cepat bisa diketahui bahwa informasi pernyataan Menkes tersebut adalah sesat alias hoax. Bahkan dari sumber cekfakta.tempo.co 21 Januari 2020, diketahui bahwa narasi yang sama telah beredar pada akhir tahun 2018 yang diunggah dalam media facebook oleh akun Arti Marwah Permata, bedanya adalah pada narasi 2018 tidak tercantum nama Menkes Terawan dan nama Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad.



(Dua tangkapan layar akun facebook Anugerah Terindah)

Seorang kawan penulis pun mengunggah salinan pernyataan Menkes versi akun Anugerah Terindah. Untuk itu penulis mengingatkan bahwa informasi tersebut adalah hoax dengan menyertakan bantahan yang dimuat oleh media tempo.co <1> dan website kominfo.go.id <2>. Meski telah dibantah oleh sumber resmi pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo, pun tidak serta merta menghentikan niat beberapa pembacanya untuk meneruskan penyebaran salinan narasi akun Anugerah Terindah. Bagi penulis persoalannya bukan hanya ketidakbenaran sumber informasi, namun juga konten informasi sebagai hal yang kontroversial. Hal ini perlu diluruskan agar persepsi masyarakat tidak keliru memahami paradigma yang benar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat saat ini. Kehadiran tenaga kesehatan diperlukan dalam pembangunan bidang kesehatan, namun keterlibatan masyarakat dalam upaya peningkatan derajat kesehatan juga penting. Untuk itu para calon dokter dibekali dengan ilmu kesehatan masyarakat. 
 
Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran (S.Ked atau drs.med), para dokter muda (DM) yang sedang menjalani pendidikan profesi dokter, selain harus menjalani kepaniteraan klinik di rumah sakit untuk belajar penatalaksanaan penyakit, juga harus memahami problem kesehatan di luar dinding rumah sakit sesuai kaidah ilmu kesehatan masyarakat. Keberadaan para calon dokter dalam menganalisis problem kesehatan masyarakat dimaksudkan agar mereka dalam menangani penyakit bukan hanya terbatas berorientasi kepada pasien, namun juga menggali data yang terkait dengan kondisi masyarakat serta agar mampu  menggerakkan dan menggunakan potensi masyarakat untuk terlibat dalam seluruh upaya pembinaan kesehatan (Community Oriented Medical Education). Dengan demikian tidak pernah para calon dokter dididik menangani persoalan kesehatan hanya berbasis atau berorientasi hospitalisasi saja. Pemahaman publik terhadap  konsep ini diharapkan dapat menjadi  petunjuk awal bahwa narasi dalam akun Anugerah Terindah, tidak sesuai dengan paradigma pembinaan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.  

Ketika seorang penderita dewasa atau anak bersama orangtuanya datang kepada seorang dokter di suatu fasilitas kesehatan, dimulailah hubungan perjanjian atau kontrak terapeutik kedua belah pihak.  Hubungan yang dilandasi kepercayaan pasien kepada dokter, diharapkan dapat membawa pasien menuju kesembuhan pasien. Berbeda dengan hubungan dua pihak bersifat bisnis yang biasanya merupakan kontrak hasil, hubungan dokter-pasien adalah dilandasi kontrak upaya. Hal ini berarti yang dinilai adalah apakah semua upaya tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien sudah maksimal sesuai ketentuan standar pelayanan medis dan semua Prosedur Standar Operasional (SPO) yang seharusnya diterima pasien.
 
Pasien juga dijamin mendapat hak dasar atas informasi dalam persetujuan tindakan medik yang meliputi mengetahui kondisi sakitnya, apa tindakan dokter, bagaimana prosedurnya, resiko yang mungkin timbul serta alternatif tindakan medis lainnya. Maka apabila pelayanan kesehatan tidak menunjukkan  hasil kesembuhan yang diharapkan bahkan berakhir dengan meninggalnya penderita, seluruh dokumen tindakan menjadi alat bukti pada proses audit medis dalam proses mediasi maupun bila berlanjut ke pengadilan. Penilaian atas upaya medis maksimal ini menjadi dasar apakah dokter atau rumah sakit dapat dipersalahkan, bukan kesembuhan pasien sebagai hasil proses terapeutik.  

Ulasan tentang hubungan kontrak dokter-pasien tersebut penting untuk meluruskan  pernyataan ekstrem nomor satu akun Anugerah Terindah bahwa “masuk ke RS orangnya belum mati, diobati beberapa bulan kemudian mati”. Demikian pula pernyataan nomor lima bahwa “penderita kanker menjalani operasi; radioterapi, kemoterapi setelah 2-3 bulan meninggal. Andai tidak masuk rumah sakit malah bisa hidup 2 tahun, apakah itu prestasi medis atau hal yang menyedihkan ?” Dengan dua pernyataan ini, pemilik akun Anugerah Terindah menghendaki adanya jaminan bila seorang pasien berobat ke rumah sakit pasti mendapat kesembuhan. Dua pernyataan ini tidak sesuai dengan kaidah hukum kedokteran yang mengatur hubungan dokter dengan pasien adalah berdasar kontrak upaya, bukan kontrak hasil.  

Tentang upaya membangun fasilitas rumah sakit yang makin besar dan makin banyak, sementara jumlah pasien terus bertambah, akun Anugerah terindah menyebutkan dalam pernyataan keempat, “seharusnya bila dokter benar-benar dapat menyembuhkan pasien, seharusnya jumlah pasien semakin sedikit”. Sungguh suatu cara pandang yang keliru karena peningkatan derajat kesehatan masyarakat tidak bisa dibebankan kepada dokter di rumah sakit semata-mata melalui upaya kesehatan kuratif. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat harus dimulai dari upaya yang dilakukan di luar tembok rumah sakit, dengan mengutamakan pembinaan kesehatan preventif. 

Berperilaku hidup sehat tidak harus memerlukan treatment dokter atau tenaga kesehatan, mungkin benar dokter sebagai motivator dan dinamisator melalui komunikasi; informasi dan edukasi (KIE), namun keputusan untuk melakukan gaya hidup sehat dimulai dari kesadaran internal setiap individu. Gaya hidup sehat perorangan atau sebagai gerakan dalam komunitas masyarakat yang dilakukan konsisten akan menekan angka morbiditas dan mortalitas penyakit, sehingga kunjungan ke rumah sakit menjadi menurun atau mungkin cukup terkendali di fasilitas kesehatan primer.
  
Oleh karena berlatar belakang militer, penulis mengajak pembaca untuk melihat situasi tersebut di atas dari sudut kesehatan militer. Pada dasarnya pembinaan kesehatan militer adalah upaya kesehatan preventif. Keberhasilan pembinaan kesehatan militer dan keluarganya yang dilaksanakan dengan baik, ditandai dengan “kosongnya” bangsal perawatan atau rendahnya Bed Occupancy Rate (BOR) rumah sakit. Upaya kesehatan preventif ini dilakukan baik di pangkalan, pemukiman, di daerah latihan bahkan di medan operasi. Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala yang disiapkan dinas, melakukan gaya hidup untuk mengendalikan faktor resiko penyakit bagi mereka yang berpotensi mengidap penyakit kronis, mengatur pola makan, pembinaan fisik yang teratur dan terukur, meningkatkan higiene sanitasi  pemukiman dan kesatuan, melakukan profilaksis dan imunisasi sebelum melaksanakan tugas operasi di daerah dengan endemi penyakit infeksi tertentu yang baik. 

Di lingkungan TNI, pembinaan kesehatan melalui uji pemeriksaan kesehatan berkala (Medical Check Up/MCU) merupakan fungsi komando dan menjadi atensi setiap komandan satuan. Pentingnya upaya pembinaan kesehatan preventif melalui MCU diwujudkan dengan terbitnya surat perintah terhadap setiap prajurit untuk melaksanakan MCU. Melalui MCU status kesehatan prajurit dapat terpantau secara periodik. Upaya kesehatan preventif lebih efisien, karena mencegah penyakit, menemukan penyakit lebih dini, mencegah memberatnya penyakit sehingga penanganan lebih efisien dan mencegah satuan mengalami kerugian personel yang lebih besar serta terganggunya tugas pokok <3>. Tanpa modal kesehatan tidak mungkin tersedia prajurit terlatih, yang pada akhirnya mengganggu siklus giliran penugasan ke daerah operasi.      
Covid-19 dan kesehatan preventif

Pandemi Covid-19 menyebabkan krisis multidimensi, memenjarakan individu dan komunitas dengan pembatasan berbagai sektor kehidupan serta memunculkan tatanan interaksi sosial baru untuk memutus rantai transmisi virus SARScoV-2. Kita dituntut lentur beradaptasi di tengah ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi. Sering mencuci tangan dengan sabun, menggunakan masker, menjaga jarak terkait dengan etika bersin merupakan bagian dari Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai wujud upaya kesehatan preventif. Memutus rantai transmisi Covid-19 memerlukan gerakan seluruh elemen masyarakat, bukan hanya menyembuhkan pasien yang dirawat di rumah sakit.  

 WHO melaporkan bahwa 80% pengidap Covid-19 mengalami kondisi klinis ringan atau bahkan tanpa gejala, 15% dengan kondisi  sedang sampai berat serta 5% diantaranya mengalami kondisi kritis. Hal tersebut menunjukkan bahwa yang memerlukan perawatan isolasi di rumah sakit dan fasilitas ICU hanyalah 20%, sedang penatalaksanaan sebagian besar kasus bisa berupa isolasi mandiri dengan gotong-royong melibatkan unsur potensi masyarakat. Tampak bahwa justru penanggulangan bencana kesehatan Covid-19 lebih berbasis masyarakat yang merupakan pendekatan kesehatan preventif, bukan upaya kuratif di rumah sakit. Hal ini penting disadari dan dilaksanakan, sambil menunggu ditemukannya vaksin sebagai pencegahan yang definitif. Palagan pertempuran untuk mengalahkan Covid-19 sesungguhnya berada di tengah masyarakat, bukan di dalam rumah sakit.

Data juga menunjukkan bahwa sebagian besar pengidap Covid-19 dengan kondisi klinis berat adalah mereka yang memiliki penyakit penyerta (komorbid) berupa diabetes, hipertensi, jantung, paru-paru dan ginjal serta beberapa penyakit kronis lainnya . Virus corona ini memperparah kondisi pasien dengan penyakit-penyakit penyerta tersebut. Telah diketahui adanya fenomena badai sitokin, yang menyebabkan reaksi radang paru semakin berat dan menyebabkan meninggalnya pasien Covid-19 karena gagal napas. Faktor resiko penyakit penyerta tersebut sebenarnya dapat dikelola untuk menurunkan resikonya dan upaya tersebut juga digolongkan sebagai upaya kesehatan preventif, baik melalui pengendalian berat badan, memperbaiki profil lemak, pengaturan diet serta melakukan manajemen stress dan olahraga yang sesuai sebagai gaya hidup yang dilakukan konsisten di rumah; lingkungan komunitas dan bukan terpenjara di rumah sakit. 
     
Akun Anugerah terindah juga secara khusus menyoroti penyakit diabetes dalam pernyataannya yang kedua, “coba kamu katakan setelah pengobatan jadi ringan atau tambah berat ?”. Pernyataannya menggambarkan sikap skeptis dan menganggap kesia-siaan dalam penatalaksanaan diabetes karena toh akan berakhir dengan status memberatnya penyakit. Narasi tersebut bertentangan dengan kenyataan bagaimana para pengidap diabetes berjuang keras untuk mempertahankan kualitas hidupnya. 

Penulis mengenal adanya klub diabetes di beberapa rumah sakit. Seluruh puskesmas sebagai fasilitas pelayanan dasar juga menyelenggarakan Program Pengelolaan Penyakit Kronis (prolanis). Di klub prolanis ini penderita secara periodik berkumpul melakukan kegiatan bersama, melakukan olah raga dan berbagi testimoni keberhasilan pengelolaan faktor resiko serta pemeriksaan gula darah rutin. Di RSAL dr. Ramelan, penulis pernah menjumpai seorang pria sepuh penderita diabetes yang melakukan penyuluhan kepada pengidap diabetes yang baru mulai berobat. Sebagai silent killer, komplikasi pada jantung dan ginjal menjadi penyebab utama kematian pasien diabetes. Maka berbagai pengendalian resiko agar tidak mempercepat datangnya komplikasi dilakukan sebagai bentuk pencegahan, mengimbangi upaya kuratif sesuai jenis dibetesnya. 

Diabetes dan berbagai penyakit kronis yang tidak menular dikelompokkan sebagai penyakit katastropik, yaitu kelompok penyakit yang membutuhkan biaya tinggi dalam pengobatannya serta memiliki komplikasi yang mengancam jiwa. Adapun yang termasuk kelompok penyakit katastropik adalah hipertensi yang dapat berlanjut menjadi stroke maupun penyakit jantung, gagal ginjal kronis yang memerlukan cuci darah, penyakit metabolisme lemak, diabetes mellitus dan berbagai penyakit kanker. Dalam jangka panjang penanganan penyakit-penyakit tersebut memerlukan intervensi multidisiplin kedokteran. 

Penyakit katastropik menyedot sebagian besar dari pembiayaan program Jaminan Kesehatan nasional (JKN) BPJS. Maka sebelum jatuh kepada situasi komplikasi, pengendalian penyakit tidak menular melalui serangkaian upaya pencegahan faktor resiko membutuhkan kesadaran internal individu dan komunitas yang bisa dilaksanakan di rumah, pemukiman, fasilitas pendidikan, kantor dan ruang-ruang publik. Bila hal tersebut dilaksanakan dengan baik, besarnya anggaran penatalaksanaan penyakit katastropik dapat dialihkan untuk membeayai upaya kesehatan preventif. Jadi kembali kepada pokok persoalan bahwa dalam penatalaksanaan penyakit, obat dari dokter dan rumah sakit bukan satunya pendekatan untuk membawa kualitas hidup penderita penyakit kronis agar tetap produktif. 

Peran pengobatan tradisional dan mindset sehat 
Kode Etik Kedokteran Indonesia mengatur empat kewajiban dokter, yaitu kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap diri sendiri.  Terhadap dirinya, seorang dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan. Seorang dokter juga harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja melaksanakan tugas profesi dengan baik. Dengan demikian dalam rangka pembinaan profesi dokter, terdapat tata nilai yang mendorong agar perilaku dokter dapat menjadi contoh masyarakat dalam menjaga status kesehatan pribadi. Namun sebagaimana orang lain, tidak semua dokter berada dalam status kesehatan yang paripurna, khususnya penyakit karena faktor bawaan.

Seorang individu yang sehat, bukan hanya dirinya sendiri yang diuntungkan, namun juga keluarga dan lingkungan serta institusi tempat yang bersangkutan bekerja. Hal-hal positif ini seyogyanya mendorong setiap individu berperilaku hidup sehat, tanpa perlu membandingkan dirinya dengan individu dokter yang gagal mengelola status kesehatan dirinya. Dalam hal ini cukuplah warga masyarakat memahami bahwa ada kaidah ilmiah yang berlaku umum dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan, serta sistem yang menjamin hak pasien sebagai warga negara untuk mendapat pelayanan kesehatan paripurna yang diatur dengan undang-undang. Adanya dokter yang berperilaku kurang baik dalam dalam mengelola kesehatan pribadi, tidak perlu menjadi hambatan dalam menumbuhkan kesadaran individu masyarakat untuk memelihara kesehatan pribadi. Dengan demikian seyogyanya masyarakat tidak perlu menganut pernyataan nomor tiga  akun facebook Anugerah Terindah yang berbunyi :”dokter sendiri berdarah tinggi 10 tahun, dia sendiri tidak dapat mengobati dirinya, tetapi bisa buka resep untuk asien darah tinggi”.

Menarik juga untuk mencermati pernyataan keenam dalam akun Anugerah Terindah tentang pengkategorian siapa yang memerlukan rumah sakit dan peran “perawatan herbal sudah cukup”. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan jelas mengakui peran penting pengobatan tradisional sebagai warisan bangsa yang secara empiris dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 16.  Selanjutnya dalam pasal 105 ditentukan bahwa sediaan obat tradisional harus memenuhi standar yang ditentukan. Tampilan modern obat yang tergolong sebagai fitofarmaka adalah obat tradisional yang telah memenuhi ketentuan Menteri Kesehatan tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Fitofarmaka telah terbukti keamanan dan khasiatnya dengan uji klinik. 

Telah diulas bahwa 80% pengidap Covid-19 dalam kondisi klinis ringan bahkan tanpa gejala. Mereka ini dapat melakukan isolasi mandiri dengan mengikuti petunjuk protokol kesehatan yang ketat, selain mengkonsumsi makanan bergizi juga dapat tetap meningkatkan status imunitas dengan bahan-bahan yang mudah didapat di tengah keluarga yaitu empon-empon jahe dan kunyit. Kedua bumbu dapur ini telah menjadi bahan baku fitofarmaka yang dikemas modern. Secara formal bahkan pelayanan obat tradisional ini resmi dibuka di Unit Rawat Jalan RSU dr. Sutomo sejak tahun 1999. Dalam UU Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan juga telah diakui keberadaan tenaga kesehatan tradisional. 
Dengan demikian telah terbukti peran penting obat tradisional ini melengkapi penatalaksanaan terapi medis yang baku. Tidak ada polarisasi obat tradisional herbal dan terapi medis modern seperti kesan dalam pernyataan keenam akun Anugerah Terindah. 

Akun Anugerah Terindah menutup pernyataanya di bagian ketujuh sebagai kesimpulan, yaitu : “Manusia telah kehilangan pola pikir logis....Engkau sesungguhnya tidak sakit, hanya punya kebiasaan ke dokter periksa penyakit. Jadi otaknyalah yang sakit”. Apakah benar demikian ? Kedokteran tidak pernah memandang manusia pada sisi fisik semata, , namun holisitik dalam fisik, mental,  spiritual dan sosial. Dalam ilmu penyakit dalam bahkan terdapat pembahasan mendalam tentang psikosomatis, yang menjelaskan bagaimana pikiran atau mental mempengaruhi tubuh sehingga muncul keluhan fsik sebagaimana manifestasi penyakit. Karena itu penting sekali setiap individu agar mampu mengelola stress agar tidak menimbulkan penyakit psikosomatis maupun memperparah penyakit yang sudah lebih dulu diidapnya. 
  
Meskipun demikian tidaklah benar bila seseorang bersikukuh sesuai logika pikirannya sendiri bahwa dirinya yakin dalam keadaan sehat karena tidak memiliki keluhan fisik yang mengganggu atau menunjukkan penurunan status kesehatannya. Perlu bukti ? Di negeri kita catatan sepuluh besar penyakit, diantaranya adalah karena infeksi, termasuk infeksi tifus dan hepatitis. Namun selain yang tercantum dalam data statisitik tentang penderita penyakit infeksi, di tengah masyarakat juga terdapat sekelompok orang berstatus sebagai carrier tifus dan hepatitis. Individu seprti ini tidak menampakkan gejala penyakit, namun sebenarnya dalam tubuhnya bersarang kuman tifus atau virus hepatitis B, dengan demikian individu tersebut tetap berpotensi menulari orang lain. 

Demikian juga di tengah pandemi Covid-, telah diketahui bahwa sebagian besar pengidapnya adalah otang tanpa gejala (OTG). Maka sungguh tidak bijak bila seseorang yang secara obyektif dengan pemeriksaan laboratorium trlah dipastikan dalam tubuhnya terkandung virus SARScoV-2, meskipun tanpa gejala klinis, bersikukuh menyatakan dirinya normal seperti orang lain. Di Madiun, Bupati sampai menjelaskan dan menjemput salah satu warganya yang berstatus OTG Covid-19 untuk menjalani isolasi di lokasi yang sudah disiapkan pemda.  Warga tersebut sebelumnya menolak dijemput petugas gugus tugas penanganan Covid-19 dan bersikukuh bahwa diriya tidak mempunyai gejala penyakit, meskipun telah dijelaskan hasil pemeriksaan swab yang bersangkutan adalah konfirmasi positip. Jadi benar berpikir logis agar tidak mengalami psikosomatis, namun juga gunakanlah otak untuk berpikir logis bila suatu saat diketahui bahwa tubuh anda ternyata obyektif menyimpan jazad renik penyebab penyakit, sehingga berpotensi menulari orang lain dan membahayakan lingkungan.
Wasana kata

Telah diulas kontroversi pernyataan akun facebook Anugerah Terindah yang mengunggah narasi yang diklaim sebagai pernyataan Menkes RI Terawan Agus Putranto. Sumber pernyataan tidak benar berasal dari Menkes Terawan Agus Putranto dan dari aspek konten pernyataan pun patut diluruskan agar tidak mempengaruhi masyarakat dalam memahami paradigma kesehatan. Pertama, pembangunan kesehatan dan penatalaksanaan penyakit tidak hanya berorientasi rumah sakit, tetapi berorientasi kepada kesehatan komunitas. Kedua, pembangunan kesehatan harus mengutamankan upaya kesehatan pencegahan (preventif) bukan kesehatan yang menekankan pengobatan (kuratif). Ketiga, telah diakui bahwa pengobatan tradisional memiliki posisi penting dalam penatalaksanaan penyakit  dan keempat, penting berpikir logis bahwa benar seseorang menyatakan dirinya sehat; namun individu juga harus logis obyektif menerima kenyataan bila suatu saat diketahui bahwa dirinya mengidap penyebab penyakit yang dapat menulari keluarga dan lingkungan.  

Semoga bermanfaat.
Salam Tangguh.
Krian, 03072020.

Sumber :

1. Sawitri, Angelina. https://cekfakta.tempo.co/fakta/569/fakta-atau-hoaks-benarkah-menkes-terawan-pernah-sebut-tujuh-pernyataan-ekstrem-soal-rumah-sakit-ini, 21 Januari 2020.
2. Kominfo. https://kominfo.go.id/content/detail/23727/disinformasi-tujuh-pernyataan-ekstrem-pak-menkes/0/laporan_isu_hoaks, 9 Januari 2020.
3. Widodo, Pudji. “Upaya kesehatan preventif TNI AL pada era Jaminan Kesehatan Nasional”. Majalah Dharma Wiratama, No. DW/181/2018, Seskoal  2018. 








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legwraps sepatu tentara bukan aksesori tanpa makna

Pengesahan Nama Korps, Satuan dan Baret KKO AL Sebagai Pasukan Pendarat Amfibi

Bukan Sekedar Membangun Citra, Kompi Protokol Mabes TNI AL Ganti Kostum