Tempe dan Dinamika Tugas


(Ilustrasi tahu tempe, sumber : cahaya images, via kompas.com, 24/1/2021)

Tempe Bendungan Hilir.

Tahun 2018 - 2019. Kantin Bu Sri disamping kantor Prodi Keperawatan Politeknik Hangtuah, kesanalah saya mengayuh sepeda setelah apel pagi selesai. Bagi bujang lokal seperti saya, kantin Bu Sri sangat berarti untuk memenuhi kecukupan gizi dan memelihara status kesehatan. Setiap hari Bu Sri menyiapkan 2 menu sayur rumahan yang selalu berbeda. 

Sayur lodeh, sayur bayam, sup, sayur asem dan pecel, cukup memuaskan lidah yang rindu makanan rumahan. Dua dari beberapa macam lauk yang selalu ada dalam etalase kaca Bu Sri adalah tempe tepung goreng dan tahu isi. Hilir mudik mahasiswa Poltek Hangtuah dan personel RSAL dr. Mintoharjo (RSAL MTH) yang membawa bungkusan kedua makanan untuk kudapan di ruang diskusi mahasiswa atau di kantor.

Sepiring nasi, semangkuk sayur dengan lauk telur dadar, telur ceplok atau ayam goreng atau kare adalah variasi yang menjadi pilihan setiap pagi. Tentu saja tidak pernah ketinggalan 2-3 potong tempe goreng tepung. Artinya apapun menu makan pagi saya di kantin Bu Sri, tempe goreng tepung selalu menyertai. 

Menghabiskan sisa teh manis hangat adalah kewajiban terakhir sebelum saya mengayuh sepeda ke kantor di Hyperbaric Center RSAL MTH. Sebuah siklus yang terus berulang setiap hari. Siklus yang dilandasi kebutuhan mengendalikan keterbatasan anggaran makan dan menyisihkan untuk ongkos tiket pesawat atau kereta api jakarta -surabaya.

Bagaimana dengan makan siang ?
Tak perlu takut, sepanjang jalan di kawasan Bendungan Hilir (Benhil) selain penuh dengan perkantoran juga gerai makanan. Warung padang langgganan saya tepat di seberang pintu pagar rumah sakit. Berjalan menyusur ke timur sebelum pasar Benhil, ada warteg favorit saya.

Berbeda dengan menu di kantin Bu Sri yang terbatas, sediaan jenis masakan di warteg benhil jauh lebih bervariasi. Salah satu menu yang disukai isteri saya bila berada di Jakarta adalah rendang jengkol. Sedang bagi saya, apapun sayur dan lauknya, variasi dengan tempe oreg tidak pernah ketinggalan. 

Hari Sabtu bila tidak pulang ke Sidoarjo, rumah makan Soto Sedap Boyolali H. Widodo di jl Pejompongan, menjadi lokasi makan pagi saya sambil rehat gowes. Lagi-lagi gorengan tempe mendoan menjadi sasaran sebelum soto pesanan datang. Pada hari olahraga jumat, sambil gowes saya juga sering ke warung sup di depan lapangan tenis PDAM di jl. Pam Baru. Lagi-lagi kehangatan gorengan tempe mendoan membuat saya selalu ingin kembali datang.

Di pangkalan dan berlayar.

Sejenak mundur tahun 2013-2016 ketika berdinas di jajaran Koarmada. Gedung R 18, di sebelah kantor Diskes Koarmatim dipakai untuk kantin jalasenastri. Kantin yang dikelola Bu Dewi, sering saya datangi pada jam turun minum kopi. Kantin ini juga tempat singgah para pasien rawat jalan atau sedang mengurus berbagai administrasi kesehatan di rumah sakit Koarmada.

Dua potong tempe tepung dipotong-potong dadu, di tambah 4 iris lontong, ditaburi sawi dan tauge lalu disiram bumbu pecel. Bu Dewi sudah hafal pesanan saya. Cukup untuk pengganjal sampai waktu makan siang di Officer Lounge perwira Diskes Koarmatim. Sebuah ritual makan terpimpin seperti di kapal.

Tempe bukan hanya menemani hidup saya sehari-hari di pangkalan, namun juga saat tugas berlayar. Bu Susi tetangga di perumahan yang punya usaha katering sering diminta isteri saya membuat kering tempe dan kacang teri untuk menambah variasi lauk di kapal. Dua toples makanan berbahan dasar tempe menjadi bekal penting.

Toples kering tempe saya titipkan di lemari pantry kapal. Saat waktu makan tiba, toples itu dibuka untuk menambah selera makan. Semua yang di officer lounge ikut bersukacita dan serasa mendapat tambahan energi. Kehadiran toples kering tempe itu seperti pos tempur yang mendapat suplai kotak amunisi.

Hari Sabtu bila tidak pulang ke Sidoarjo, rumah makan Soto Sedap Boyolali H. Widodo di jl Pejompongan, menjadi lokasi makan pagi saya sambil rehat gowes. Lagi-lagi gorengan tempe mendoan menjadi sasaran sebelum soto pesanan datang. Pada hari olahraga jumat, sambil gowes saya juga sering ke warung sup di depan lapangan tenis PLN di jl Pam Baru. Lagi-lagi kehangatan gorengan tempe mendoan membuat saya selalu ingin kembali datang.

Kembali pulang ke tengah keluarga tentu menjadi saat yang saya tunggu pada akhir pekan. Sabtu pagi saya sudah mengantar isteri ke sekolah. Di gang masjid kampung kletek ada warung Bu Udin yang selalu saya datangi. 

Meskipun seperti warung makan, tapi tidak ada orang makan di tempat, yang datang adalah mereka yang mengambil pesanan. Termasuk karyawan karoseri bis di kawasan kletek Taman dan guru-guru di tempat isteri saya mengajar.

Saya menggunakan kesempatan yang terbatas untuk mampir ke rumah Bu Udin. Beliau menerima pesanan nasi murah Rp.5 ribu/bungkus. Volumenya sedikit lebih dibanding nasi kucing angkringan. 

Nasinya gurih, sejumput sayur kacang pedas, suwiran daging empal dan dominasi kering tempe yang gurih maknyus. Komposisi yang membuat sebungkus nasi segera licin tandas tanpa sisa dan memaksa membuka bungkus berikutnya. Iya pasti tidak cukup hanya makan sebungkus.

Kini Bu Udin telah berpulang. Anaknya yang selama ini membantunya menyiapkan nasi bungkus, meneruskan usahanya. Saya mengenang kebaikannya, nasi murah yang penuh berkah dengan kering tempe.

Tahu tempe terus mewarnai meja makan keluarga. Digoreng adalah sajian menu baku. Sedang variasi olahan rebusan semakin relevan dengan data riwayat kesehatan. Bothok tahu-tempe buatan Bu Ning yang kiosnya didepan masjid desa menjadi pilihan dominan. Sekali-sekali pepes ikan atau bothok udang sebagai variasi pengganti.

Maka ketika minyak goreng langka, menu rebusan menjadi alternatif. Namun ketika kios tahu tempe di pasar desa tutup karena perajin tahu tempe mogok empat hari, berkurang pula isi lapak Bu Ning. Bothok tahu tempe andalan Bu Ning pun lenyap.

Beberapa hari ke depan, pohon pisang di halaman rumah Bu Ning utuh tak terganggu. Kebutuhan daun pisang pembungkus masih ada untuk rebusan pepes ikan, pepes udang atau ati-ampela serta kue nagasari. Setidaknya di meja makan, di balik tudung saji masih ada variasi menu rebusan.

Tapi bagi sebagian prajurit TNI, riak soal migor dan tahu tempe mungkin juga kurang mendapat perhatian. Pertama karena persoalan ini selalu berulang. Buktinya sejak kemarin lapak tahu tempe di pasar desa telah buka kembali. Kedua, ada yang lebih menarik perhatian yaitu hasil sidang MK tentang perubahan usia pensiun anggota TNI pada semua strata menjadi 58 tahun seperti Polri.

Ya, lumayan bertambahnya pundi-pundi gaji dan tunjangan kinerja meskipun masih 50% remunerasi. Artinya, daya beli masih memadai, meskipun persoalannya adalah pada ketersediaan komoditas. Hingga saat pensiun tiba, ketika semua hak itu hilang, 

Ketika pensiun, sudah bisa ikut pemilu seperti warga masyarakat lainnya memilih pemimpin pemerintah baru. Persoalannya, ketika rezim entah telah berganti beberapa kali, saya tidak yakin masalah minyak goreng dan tahu tempe ini juga tuntas.

Mungkin persoalan minyak goreng dan pasokan kedelai tahu tempe tetap menjadi bahan kampanye. Sedang sebagai solusi jangka panjang, mungkin swasembada kedelai sebagai wujud ketahanan pangan hanya sebatas janji.  Untuk jangka pendek, yang penting UU disetujui diganti, bahwa usia pensiun anggota TNI 58 tahun (pw).


Pudji Widodo,
Sidoarjo, 24022022 (100)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legwraps sepatu tentara bukan aksesori tanpa makna

Pengesahan Nama Korps, Satuan dan Baret KKO AL Sebagai Pasukan Pendarat Amfibi

Bukan Sekedar Membangun Citra, Kompi Protokol Mabes TNI AL Ganti Kostum