Campursari, pupuk integrasi bangsa dan amunisi melawan pandemi Covid 19 (mengenang Didik Kempot)

Campusari, Pupuk Integrasi Bangsa dan Amunisi Melawan Pandemi Covid-19
(Mengenang Didik Kempot) 

Oleh : Pudji Widodo

(sumber foto : Frankenstein Artwork di pinterest)

Campur sari di Lounge Room Perwira

Pada tahun 2014 – 2015 penulis bertugas sebagai staf di Diskes Koarmatim (saat ini Diskes Koarmada II). Saat itu bila tiba waktunya makan siang, maka Lounge Room Perwira yang semula hening sepi, berubah menjadi riuh karena selain satu demi satu perwira  berdatangan masuk ruang makan melepas penat, juga karena terdengar alunan musik campursari dari set karaoke. Maklum komandan penulis, Kadiskes Koarmatim Kolonel Laut (K) dr. Agus Guntoro, Sp. BS adalah penggemar musik dan lagu campursari. Maka kami para stafnya juga “terpaksa” menyesuaikan, paling tidak juga belajar menyanyikan lagu-lagu jawa, karena perintah menyanyi bisa datang setiap saat ketika jam makan siang.

Koleksi lagu karaoke di Lounge Room tentu saja dari berbagai genre musik, saat itu Demy penyanyi Osing Banyuwangi sedang naik daun. Untuk campur sari tersedia dengan pilihan  penyanyi Sunyahni, Nurhana, Manthous, dan tentu saja Didi Kempot. Maka meninggalnya maestro campursari Didik Kempot pada Selasa 5 Mei 2020 di Solo, selain meninggalkan kenangan juga beberapa catatan tentang karya almarhum yang sarat makna dan aktifitas almarhum yang menginspirasi solidaritas kemanusiaan.

Kekuatan lagu Didi Kempot terletak pada jenis musik yang digunakan sebagai pengiring lagu yang enak didengar, dapat menggerakkan penyukanya untuk  bersenandung dan menggoyangkan tubuh dengan riang. Bukan dangdut, namun  musik campursari, meskipun saat mulai muncul ada yang menyebut congdut – keroncong dangdut. Campursari mulai diperkenalkan oleh RRI Semarang pada tahun 1953, namun tidak bisa langsung menggeser kokohnya kreasi gending dalang legendaris Ki Nartosabdo. Baru pada awal dekade 90an, Anto Sugiartono yang memasukkan unsur instrumen barat membuat campur sari dikenal luas, apalagi setelah membawa grupnya ke Jakarta. Anto Sugiartono kemudian dikenal sebagai Ki Manthous (1).

Lagu Didi Kempot memiliki kekuatan menembus batas etnis dan suku, membuat mereka yang non-jawa juga tertarik menyukai lagunya. Musik dan lagu campursari Didi Kempot membius penggemarnya, yang meliputi semua kalangan, juga diterima dengan antusias saat manggung di luar Jawa, saat dinyanyikan biduan lokal di panggung lapangan desa maupun konser di hotel berbintang dan ajang kompetisi penyanyi di media televisi. Setidaknya terbukti di lingkup kecil bagi para perwira yang sekantor dengan saya di pangkalan yang  berasal dari berbagai daerah maupun di kapal perang saat penulis melaksanakan tugas berlayar.

Tidak berbeda dengan orang jawa ada yang menyukai lagu Butet atau Alusia dari Batak dan lagu Tanase dari Maluku. Yudika, penyanyi asal batak yang menjadi juri Indonesian Idol di media TV RCTI pun bangga mendapat kesempatan menyanyikan lagu campursarinya Didik Kempot. Rony Lau alias Rony Muyapa, penyanyi asal Nabire Papua pun juga merilis single campursari berjudul "jago selingkuh" pada tahun 2014 (2). Empat dekade sebelum itu, lagu pop jawa “Romo ono maling” ciptaan Titiek Puspa dibawakan oleh Edi Silitonga dengan bersih tanpa bias dialek bataknya. Fakta ini menggambarkan bahwa lagu daerah dapat menjadi simpul pengikat kebangsaan. Maka tidak berlebihan bila popularitas campur sari sebagai musik dan lagu daerah ibarat pupuk untuk menyuburkan motivasi menjaga integrasi bangsa.

Lagi-lagi penulis merasa perlu membongkar kenangan penugasan di Timor Timur untuk menunjukkan relevansi lagu daerah dengan pentingnya menjaga persatuan NKRI. Berbagai kegiatan ramah tamah yang dikemas dalam bentuk “Officer Club” beberapa kali diadakan oleh Pangkalan TNI AL Dili pada tahun 1995 – 1996 di Aula Lanal. Pada kesempatan tersebut hadir perwira ABRI dari berbagai kesatuan, pejabat daerah dan tokoh masyarakat. Bagi sejawat perwira acara seperti ini berguna sebagai sarana manajemen stres di tengah kepenatan tugas di daerah operasi yang penuh tekanan bagaimana merebut dan memenangkan hati rakyat Timor Timur melalui berbagai operasi teritorial, untuk mengimbangi intensitas operasi tempur dan intelejen.

Dalam acara tersebut seluruh undangan dengan riang menyanyikan lagu Timor yang populer misalnya Bonita dan Oh Doben, segembira kita menyanyikan lagu batak Alusia dan lalu menari bersama diiriingi lagu Sajojo dari Papua, seperti sekarang ini kita bergoyang menari dengan iringan lagu “Gemu Famire” dari NTT. Sebuah pesan tersirat, kita mencintai dan akan mempertahankan bumi Timor Lorosae sebagaimana kita menyintai Papua dan Sumatra dalam ikatan NKRI. Sayang pendekatan kebudayaan ini ternyata tidak diikuti dengan keberhasilan di perjuangan diplomasi. Pada akhirnya bumi Timor Lorosae harus kita relakan keluar dari ikatan NKRI karena tekanan internasional.

Selain populer dan berperan di lingkup nasional, lagu daerah juga bergema di luar negeri. Lagu karya Didi Kempot go international menembus Suriname dan Belanda, juga disukai pahlawan devisa para TKI di berbagai negara. Didi Kempot bukan hanya mengingatkan ikatan batin orang Jawa Suriname dengan Nusantara, atau pengobat rindu para TKI kepada tanah air, tetapi juga kesadaran mempertahankan dan cinta tanah air para diaspora, serta pengakuan eksistensi Indonesia di kancah global.  

Riang mengatasi kegagalan dan membangkitkan kesetiakawanan sosial

Para penggemar Didi Kempot memberi julukan maestro campursari ini sebagai “The Godfather of Broken Heart” dan penggemarnya pun mengakui bahwa mereka sebagai kelompok “sadbois” dan “sadgels”. Sebagian besar lagu yang diciptakan Didi Kempot memang bertemakan kegagalan cinta. Anehnya lagu sedih ini dibawakan dengan iringan musik yang riang sehingga muncul slogan “lara ati, mending dijogeti”. Didi Kempot mengajar kepada kita semua bahwa “tidak penting berapa kali kita jatuh, tetapi bagaimana kita bangkit mengatasi kegagalan”. Didi Kempot adalah motivator bagi mereka yang gagal agar tidak berhenti dalam kesedihan, namun segera mentransformasi mental agar terus berjuang meraih kemenangan terhadap berbagai problem kehidupan, bukan hanya soal asmara. Jalani dengan riang dan ikhlas, karena hidup terus berjalan.

Kepada penggemarnya Didik Kempot bukan hanya memberitahu cara bangkit dari kegagalan, namun dia memberi contoh dan menjadi contoh karena dia sudah membuktikan menaklukkan tantangan. Didi Kempot merangkak dari bawah, mensyukuri talentanya dan menjualnya mulai dari menjadi pengamen  jalanan di kawasan dekat Bundaran Slipi Jakarta sebelum menjadi penyanyi terkenal. Kerasnya perjuangan penyanyi dengan nama asli Didi Praetyo, diabadikan sebagai tambahan dalam namanya, yaitu Kempot yang adalah akronim dari “Kelompok Penyanyi Trotoar”.

Sukses dan gemerlap panggung tidak membuat Didi Kempot menjadi silau sehingga membuatnya tidak mampu melihat problema sosial. Sebagai orang yang pernah hidup susah, maka ketika banyak warga masyarakat hidupnya sulit karena terdampak bencana wabah Covid-19, ini menumbuhkan ide Didi Kempot untuk menggalang donasi bagi mereka. Bersama Kompas TV, Didi Kempot menyelenggarakan konser amal virtual pada tanggal 11 April 2020 dan berhasil mengumpulkan dana 7,6 M rupiah sumbangan dari para penggemarnya yang memiliki identitas “sobat ambyar” (3). Komunitas penggemarnya merupakan modal sosial bagi Didi Kempot, yang dapat dibangkitkan spirit kesetiakawanan sosial dan gotong royongnya untuk menanggulangi wabah Covid-19.

Tiga minggu setelah menuntaskan misi kemanusiaan melalui konser tanpa penonton, Didi Kempot meninggal. Sang Khalik memanggil pulang Didi Kempot saat dia berada di puncak kesuksesan. Ajakannya agar warga masyarakat dan komunitas sobat ambyar untuk melakukan gerakan amal mengingatkan kita semua bahwa hidup terbatas waktunya dan harus berarti bagi insan lain serta masyarakat luas. Bagi mereka yang hedonis dan rakus kekuasaan layaklah berkaca diri kepada Didi Kempot yang tetap sederhana hingga akhir hayat.          

Peran dalam perang semesta melawan Covid 19

Dalam rangka memutus rantai transmisi virus Covid-19, Kapolri telah menerbitkan maklumat nomor : Mak/2/III/2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan penyebaran virus corona (Covid-19). Adapun isi maklumat Kapolri adalah melarang adanya kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak di tempat umum maupun di lingkungan sendiri (4). Untuk tujuan yang sama, secara berjenjang pemerintah daerah mengajukan dan Menkes atas nama pemerintah pusat menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bagi beberapa provinsi, kota dan kabupaten di Indonesia. Aktifitas masyarakat di tempat umum dibatasi, bekerja – belajar dan beribadah di rumah. Bahkan pemerintah telah menetapkan larangan mudik yang semula hanya bagi TNI; Polri dan ASN namun kemudian diberlakukan bagi seluruh warga masyarakat.

Mudik adalah fenomena sosial untuk merayakan Iedul Fitri bersama keluarga besar di kampung halaman. Data tahun 2019 menunjukkan jumlah pemudik yang menggunakan angkutan umum mencapai 18,4 juta (5). Namun mobilisasi manusia dalam jumlah besar dari dan ke seluruh penjuru tanah air jelas meningkatkan resiko transmisi penyakit Covid-19. Regulasi nasional dan punishment penting untuk mendisiplinkan masyarakat, namun Didi Kempot melengkapinya dengan upaya menumbuhkan kesadaran pentingnya membatalkan niat mudik sebagai gerakan sosial.

Didik Kempot bukan hanya menggerakkan masyarakat melakukan donasi bagi mereka yang terdampak  wabah Covid-19, namun juga menggerakkan perlawanan dalam perang semesta melawan pandemi Covid-19 melalui laku menahan diri. Didik Kempot menghimbau masyarakat agar menahan diri untuk tidak mudik demi keselamatan individu, keluarga, masyarakat dan kelanjutan hidup berbangsa. Didi Kempot menggunakan soliditas sobat ambyar sebagai pendekatan berbasis seni budaya, untuk meredam niat mudik karena mudik sendiri adalah fenomana budaya. Sungguh suatu inisiatif yang tepat sasaran di tengah suasana ibadah puasa ramadan yang relevan dengan kondisi batin yang penuh nuansa menahan diri.

Bila pada umumnya dalam penanggulangan bencana dilakukan mobilisasi potensi masyarakat untuk mendukung berbagai pemangku kepentingan yang dikoordinasikan oleh BNPB atau BPBD, kini dalam penanggulangan Covid-19 sebagai bencana non-alam justru dilakukan pembatasan sosial yang pelaksanaannya merupakan bentuk demobilisasi masyarakat. Peran Didi Kempot agar komunitas sobat ambyar menjadi pelopor gerakan menahan diri tidak mudik adalah bentuk demobilisasi yang penting dalam pencegahan transmisi Covid-19.

Sampai saat ini belum ada data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menjawab pertanyaan apakah penyebaran Covid-19 merupakan bencana buatan? Berkembang liar opini tentang keterlibatan negara entah Amerika Serikat atau Tiongkok sebagai pihak yang dituduh  bertanggungjawab. Terlepas dari benar atau tidak dugaan bencana buatan tersebut, wabah Cob id-19 harus juga dilihat dari perspektif ancaman non-militer yang membahayakan bangsa. Wabah Covid-19 adalah adalah situasi mandala perang dengan ancaman berdimensi bahaya keselamatan umum. Maka dalam situasi ini seluruh komponen bangsa harus terlibat sebagai manifestasi pertahanan rakyat semesta. Seruan Didik Kempot agar komunitas sobat ambyar, para “sadbois” dan “sadgels” mempelopori dan menggerakkan kesadaran tidak mudik bernilai strategis, karena merupakan bentuk partisipasi perlawanan terhadap penyebaran penyakit Covid-19. Campursari adalah amunisi yang ditembakkan dari panggung konser Didik Kempot untuk melawan Covid-19


Demikian sedikit catatan saya tentang sosok Didik Kempot, bahwa popularitas lagu campursari karyanya melintas etnis, suku dan daerah lain berperan penting menjaga keutuhan NKRI. Didik Kempot menjadi inspirasi mengatasi kegagalan hidup dengan riang, serta menyadarkan kita bahwa popularitas tanpa makna bila hidup yang sebentar tidak berguna bagi masyarakat.  Didik Kempot juga jeli menangkap peluang bahwa komunitas penggemarnya adalah modal untuk membangkitkan kesetiakawanan sosial dalam penanggulangan bencana wabah Covid -19. Terakhir peran strategis Didik Kempot dalam menggerakkan kesadaran tidak mudik adalah bentuk pertahanan rakyat semesta seluruh masyarakat dalam perang melawan Covid-19.

Terima kasih Pak Didik “Kempot” Prasetyo, semoga beristirahat dengan damai di keabadian.


*Pudji Widodo, pemerhati kesehatan militer, penyuka lagu keroncong dan campursari.

Sidoarjo 6 Mei 2020.

Sumber :

1. Joko Wiyoso. “Jejak Campursari”. Jurnal Harmonia, UNNES 2007, dalam https://etnis.id/awal-mula-campursari-dari-r-m-samsi-hingga-didi/,  11 Oktober 2019 diakses 6 April 2020.
2. https://m.solopos.com/rony-lau-penyanyi-campursari-papua-saingan-didi-kempot-1014616, 27 Agustus 2019 diakses 6 Mei 2020.
3. https ://www.kompas.com/hype/read/2020/05/05/124340566/konser-amal-dari-rumah-konser-terakhir-didi-kempot?page=all, 5 Mei 2020 diakses 6 Mei 2020.
4. humas.polri.go.id
5. https://m.merdeka.com/uang/5-fakta-menarik-mudi-lebaran-2019-dalam-angka.html,   15 Juni 2019 diakses 7 Mei 2020.










Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legwraps sepatu tentara bukan aksesori tanpa makna

Pengesahan Nama Korps, Satuan dan Baret KKO AL Sebagai Pasukan Pendarat Amfibi

Bukan Sekedar Membangun Citra, Kompi Protokol Mabes TNI AL Ganti Kostum