Antara Kacung Badan Kesehatan Dunia dan Tradisi Luhur Bakti Bagi Negeri


Oleh : Pudji Widodo

Pesan Soekarno

Musisi I Gede Ari Astina alias Jerinx, drummer grup band Superman Is Dead (SID) sejak tanggal 12 Agustus 2020 ditahan Polda Bali akibat unggahan pada akun instagram pribadinya yang digugat oleh IDI Bali. Adapun kalimat unggahan Jerinx yang dipermasalahkan IDI Bali selengkapnya berbunyi “Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan Rumah Sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan tes Covid-19”. Polda Bali menetapkan Jerinx sebagai tersangka karena telah melakukan pencemaran nama baik IDI (www.kompas.com, 13/8/2020).

(Soekarno dan KRI Irian, sumber foto : maritimnews.com, 10/9/2016).

Kosa kata jongos atau kacung dan babu atau bedinde yang diungkap musisi Jerinx sudah ada sejak jaman kolonial dan kini hampir tidak pernah digunakan lagi. Diksi jongos dan babu kemudian diganti “Bibi”, “Mbak”, Pembantu Rumah Tangga dan Asisten Rumah Tangga (ART). Sebagai pengakuan atas upaya perlindungan hak pekerja, para para aktifis migran care menganjurkan agar digunakan istilah Pekerja Rumah Tangga (PRT). Jadi terdapat perkembangan dalam penyebutan PRT yang menjadi lebih santun, memberi nilai lebih daripada sekedar pekerjaan domestik serta membuang kesan feodal. 

Jongos, babu dan buruh menjadi tema perjuangan Soekarno, bukan hanya terbatas pada nasip sekelompok manusia, namun demi lepasnya bangsa Indonesia dari jerat kolonialisme. Status jongos disinggung Soekarno dalam pidatonya pada peresmian berdirinya Institut Angkatan Laut (IAL, kini Akademi Angkatan Laut) pada 10 Oktober 1951. Saat itu Presiden Soekarno menyatakan : . “.......Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya,...bangsa pelaut dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri....” (Info Historia TNI AL, 2018 : 65).

Senada dengan harapan yang disampaikan kepada para kadet IAL, Soekarno lebih dulu mempersoalkan nasip buruh melalui narasi Indonesia Menggugat. Hal tersebut merupakan pleidoinya dalam sidang pengadilan di Bandung pada tahun 1930. Kepada para hakim Soekarno menyebut bahwa nasip buruh dan bangsanya adalah korban imperalisme modern. Mengutip tulisan Van Gelderen, Soekarno menyatakan : “Penduduk bumiputra menjadi bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan membikin Hindia menjadi si buruh dalam pergaulan bangsa-bangsa”. Sebuah tema yang bukan hanya aktual pada masanya, namun tetap relevan sampai saat ini. 

Pidato Soekarno yang visioner memberi petunjuk kepada para kadet IAL, agar kelak menjadi perwira yang menjaga tanah airnya yang kaya, yang memiliki kedaulatan ekonomi dan potensi maritim untuk kesejahteraan bangsanya dan bukan menjadi mesin yang hanya memperkaya bangsa lain. Untuk itu Indonesia yang relatif baru sebagai negara merdeka, memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkarakter nasional yang mampu keluar dari belenggu mental jongos alias kacung bangsa lain. 

(Ilustrasi jongos pada era kolonial Belanda, sumber : https://upload.wikimedia.org/wikipedia/jv/5/5e/Jongos.jpg)

Hak atas kesehatan tenaga rumah sakit. 

Mengulik IDI sebagai kacung WHO mengharuskan kita mencermati tiga hal. Pertama pada tataran global, sejak kasus Covid-19 resmi dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO, maka terdapat regulasi penanganan di seluruh dunia sebagaimana ditetapkan dalam International Health Regulation (IHR) yang telah diratifikasi Indonesia. Pandemi Covid-19 mengingatkan kepada dunia akan adanya resiko timbulnya wabah penyakit baru berikutnya, ancaman penyakit potensial wabah yang sudah ada; baik murni bencana atau akibat serangan senjata biologi. 

Situasi tersebut harus disikapi seluruh negara di dunia untuk bekerja sama terlibat penanganan isu keamanan kesehatan global. Indonesia melaksanakan kerja sama multilateral melalui forum ASEAN Committe of Military Medicine (ACMM). Pada tanggal 28 Mei 2020 ACMM melalui pertemuan virtual membahas kerja sama dan bertukar pengalaman tentang penanganan pandemi Covid-19 di negara masing-masing (www.aa.com.tr, 28/5/2020). Hal ini merupakan aksi nyata yang lebih baik dari pada sibuk menganalisis teori konspirasi yang tidak jelas ujung pangkalnya. 

Kedua, pada lingkup nasional sebagai pedoman jajaran kesehatan, sejak akhir bulan Januari sampai Juli 2020 Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemkes telah beberapa kali merevisi panduan berupa Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Dalam pedoman tersebut dinyatakan bahwa mencegah transmisi infeksi Sarsc0V-2 dilaksanakan melalui serangkaian pengendalian yang meliputi administratif, pengendalian dan rekayasa lingkungan serta Alat Pelindung Diri (APD). Pada buku tersebut jelas tercantum bahwa evaluasi klinis dan epidemiologi harus dilengkapi dengan evaluasi laboratorium, termasuk ketentuan penggunaan rapid test bukan untuk diagnosis, namun untuk skrining atau penapisan populasi, penguatan pelacakan kontak dan tujuan penelitian epidemiologi. 

Ketiga, untuk melaksanakan regulasi Dirjen P2P Kemkes, maka rumah sakit memverifikasi apakah pasien yang memerlukan pelayanan kesehatan pada kasus kedaruratan di IGD tergolong Covid-19 atau masuk kategori nonCovid-19. Hal tersebut dilakukan rumah sakit sebagai upaya pencegahan dan pengendalian melalui penapisan berupa Rapid Test Covid-19. Upaya penapisan tersebut dilakukan diantaranya bagi pasien kasus tindakan operasi termasuk wanita yang akan melahirkan. Rumah sakit merupakan tempat yang beresiko menjadi transmisi penyakit, baik bagi petugas rumah sakit, setiap pasien yang berobat jalan maupun rawat inap, serta masyarakat umum di luar rumah sakit. Kegiatan preventif akan efektif bila dilakukan mulai dari alur pasien sejak saat pertama kali datang sampai keluar dari sarana pelayanan kesehatan. 

Rapid test Covid-19 juga merupakan upaya menjamin terpenuhinya hak atas kesehatan bagi tenaga kesehatan rumah sakit. Setiap tenaga kesehatan termasuk dokter, seperti setiap warga negara RI yang lain, berhak atas kesehatan sesuai dengan UUD 1945 pasal 28H ayat 1. Jaminan negara terhadap hak atas kesehatan juga sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 9 tentang hak untuk hidup, memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas kesehatan juga tercantum dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 4. 

Selain hak yang dijamin dengan undang-undang, pada aspek etis setiap dokter berkewajiban bersikap tulus ikhlas mempergunakan ilmu. kemampuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Selaras dengan etika tersebut, maka lafal salah satu sumpah dokter adalah senantiasa mengutamakan kesehatan pasien dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Pelaksanaan UU dan pedoman etis tersebut diaplikasikan melalui tindakan profesional dalam serangkaian Standar Prosedur Operasi (SPO) yang diterbitkan oleh manajemen rumah sakit khususnya oleh Tim Pengendali Penyakit Infeksi (PPI). Untuk itu manajemen rumah sakit menyusun SPO dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19 yang ditujukan guna tewujudnya keamanan dan keselamatan pasien, tenaga pelayanan dan rumah sakit selaku penyedia layanan kesehatan serta masyarakat. 

Persoalannya adalah beaya Rapid test dibebankan kepada pasien dan prosedur inilah rupanya yang menjadi pokok keberatan Jerinx. Solusi terhadap masalah ini menurut penulis adalah menggunakan dasar penetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional oleh pemerintah. Seyogyanya rapid test bagi pasien praoperasi di rumah sakit dimasukkan dalam kategori testing dan tracing surveilans epidemiologi sebagai bagian dari penanganan bencana. Dengan demikian pembeayaan rapid test baik yang hasilnya non reaktif maupun reaktif, swab test dan beaya operasi bila pasien ternyata berstatus konfirmasi/positif Covid-19, oleh rumah sakit diajukan sebagai klaim penggantian beaya kepada Kemkes. 

Dengan solusi tersebut cakupan peserta tes meningkat, masyarakat merasa negara hadir mengatasi bencana dan rumah sakit tidak terbebani beaya operasional. Sebaliknya bila ternyata hasil diagnosis laboratoris pasien praoperasi adalah nonkonfirmasi (negatif) Covid-19), beaya tindakan operasi untuk pasien peserta BPJS dibebankan kepada BPJS, atau pasien membayar bila pasien berstatus pasien umum/non BPJS. 

Tradisi luhur bakti bagi negeri 

Selain kasus Jerinx, di Maluku Utara dan Sumenep IDI dan PPNI juga melaporkan perilaku warga masyarakat yang merugikan jajaran kesehatan dan upaya penanganan Covid-19. Seyogyanya jalur hukum juga yang ditempuh masyarakat bila kebijakan manajemen rumah sakit dalam penanganan Covid-19 dinilai merugikan pasien. Hal ini lebih elok dari pada mengungkapkan aspirasi ketidaksetujuan terhadap suatu kebijakan pemerintah sambil melampiaskan ungkapan yang merendahkan martabat keluhuran profesi yang dijunjung tinggi oleh pelakunya; yang dijalani sampai harus kehilangan jiwa sejak jaman pergerakan kebangsaan, merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta membangun bangsa. 

Sejarah mencatat eksistensi para dokter yang membidani lahirnya organisasi kebangsaan. Kelahiran organisasi pergerakan di awal abad 19 menandai adanya kesadaran bahwa Hindia Belanda harus bertransformasi menjadi Indonesia yang berdaulat agar tidak menjadi babu dan jongos bangsa lain. Sebagian para dokter memilih terlibat perang kemerdekaan dan diantaranya ada yang gugur di berbagai palagan perjuangan. Pada era mempertahankan kedaulatan terdapat dokter yang terlibat aksi heroik infiltrasi udara terjun payung di atas belantara Merauke Irian Barat dalam operasi Trikora. 

Setelah era konsolidasi pasca ditumpasnya berbagai pemberontakan terhadap NKRI, pemerintah mulai melakukan pembangunan di segala bidang. Melalui UU Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (WKS), pemerintah mengatur distribusi dokter terutama untuk pelayanan kesehatan primer/dasar di Puskesmas seluruh penjuru tanah air. Selain menjadi klinisi, para dokter dan seluruh tenaga kesehatan berbagai profesi, dengan sadar memilih berbagai peran dan model perjuangan untuk kesejahteraan bangsanya, tidak terkecuali loyal saat masih berlaku UU Wajib Militer.

Pencapaian hasil pembangunan di seluruh tanah air tentu salah satu diantaranya merupakan kontribusi hasil kerja keras dan dedikasi para tenaga kesehatan. Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan salah satu indikator adalah dimensi kesehatan merupakan parameter keberhasilan pembangunan. IPM tercatat berturut-turut membaik dari 66,53 pada tahun 2010 menjadi 71,39 pada tahun 2018 (ipm.bps.go.id). Tahun 2018 merupakan tahun ketiga bagi Indonesia berstatus IPM tergolong kategori tinggi (70 – 80). Berdasarkan data Potensi Desa (podes) 2018 oleh BPS, tercatat jumlah desa tertinggal mengalami penurunan dari 19.750 pada tahun 2014 menjadi 13.232 desa tertinggal pada akhir tahun 2018, sedang status desa berkembang mengalami peningkatan dari 51.026 pada tahun 2014 menjadi 54.879 pada tahun 2018. (nasional.kontan.co.id, 23/5/2019).

Kini di tengah pandemi Covid-19 jajaran kesehatan bersama seluruh komponen bangsa melaksanakan tugas percepatan penanganan Covid-19 yang berdampak multisektoral. Di tengah upaya penanganan bencana kesehatan ini, tercatat beberapa keberhasilan yang meliputi : penemuan vaksin Merah Putih oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan rencana produksi vaksin oleh Biofarma; disamping kolaborasi dengan uji klinis vaksin temuan negara lain. LIPI dan berbagai lembaga perguruan tinggi serta industri bekerjasama memproduksi rapid test dan perangkat pemeriksaan PCR; alat kesehatan ventilator dan beragam produk herbal imunomodulator. 

Meski belum sempurna, kerja sama Unair-TNI AD-BIN yang berupaya menemukan regimen obat untuk penatalaksanaan pasien Covid-19 juga patut mendapat apresiasi. Semua upaya tersebut menunjukkan adanya inisiatif dan inovatif seluruh anak bangsa, termasuk tenaga kesehatan dalam menghadapi tekanan dampak pandemi Covid-19. Adanya inisiatif dan inovatif cukup memberi gambaran bahwa kita bukan jongos alias kacung siapapun dalam perlawanan terhadap Covid-19. 

Wasana kata

Perang melawan transmisi Covid-19 belum usai, namun jajaran kesehatan harus rela 84 dokter dan 64 perawat berkorban jiwa akibat langsung maupun tak langsung dalam melawan Covid-19. Di antara para korban tersebut 22 orang diantaranya mendapat anugerah Bintang Jasa Pratama dan Bintang Jasa Nararya dari pemerintah. Hal itu cukup untuk menjawab keraguan sebagian warga masyarakat atas dedikasi para pengabdi kemanusiaan dan anggapan institusi kesehatan mengambil untung dari situasi pandemi Covid-19. 

Mengakhiri tulisan ini, menurut penulis kasus Jerinx juga penting untuk bahan kontemplasi seluruh komponen bangsa tentang industri material kesehatan . Pandemi Covid-19 menjadi momentum kebangkitan pengembangan industri alat kesehatan dan farmasi dalam negeri. Menteri BUMN, Erick Thohir menyatakan pandemi Covid-19 menelanjangi mafia yang membuat beaya pengadaan material kesehatan untuk penanganan wabah menjadi mahal dan tergantung kepada luar negeri (money.kompas.com, 18/4/2020). 

Kita tunggu kepastian bagaimana hasil sidang pengadilan kasus Jerinx. Yang sudah pasti adalah menurut Menteri BUMN di tengah bencana pernah ada yang mengambil kesempatan menjadi mafia, atau makelar material kesehatan dari luar negeri. Sebenarnya perilaku tersebut juga termasuk kategori Kacung dan mengingkari kedaulatan ekonomi yang dicita-citakan Sang Proklamator kemedekaan. Bagaimana menurut anda? 

Salam Merdeka. 
Pudji Widodo, 
Krian, 17 Agustus 2020.

Komentar

  1. Apik mas ..salut..tak kenal kata usai mengabdi pada negeri

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Siap terima kasih Mas Warkasa.
      Semoga sehat selalu di tengah situasi yang tidak mudah saat ini.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legwraps sepatu tentara bukan aksesori tanpa makna

Pengesahan Nama Korps, Satuan dan Baret KKO AL Sebagai Pasukan Pendarat Amfibi

Bukan Sekedar Membangun Citra, Kompi Protokol Mabes TNI AL Ganti Kostum