Pandemi Covid-19 Sebagai Isu Keamanan Kesehatan Global Dan Antisipasi Agenda Tersembunyi

Oleh : Pudji Widodo

Covid-19, sengaja atau bencana pasca perang dagang ?.

Pada tanggal 16 Maret 2020 Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menulis di akun Twitter bahwa Washington akan menjadi lebih kuat dan keluar dari wabah. Selanjutnya dia menuturkan bahwa AS akan mendukung penuh industri, seperti maskapai penerbangan dan lainnya yang terdampak oleh “Chinese Virus”.  Penyebutan virus corona oleh Trump sebagai “Chinese Virus” ini memicu kemarahan China yang melalui juru bicara Kemlu Geng Shuang menyampaikan bahwa twit yang ditulis Trump merupakan stigmatisasi terhadap China . Selain Presiden Trump, Menlu AS Mike Pompeo pun menyebut virus corona dengan “Virus Wuhan (www.kompas.com, 17/03/2020).  

Kemarahan China tentu bukan tanpa alasan karena sesuai panduan WHO 2015, virus tidak boleh diberi identitas dengan nama hewan atau negara agar tidak menimbulkan stigma, sebagaimana Ebola adalah nama sungai di Republik Demokratik Kongo dan Zika adalah nama hutan di Uganda.  Pada tanggal 12 Februari 2020 WHO resmi mengumumkan nama virus penyebab wabah Wuhan adalah SARScoV-2 dan nama penyakitnya yaitu COVID-19. Selain persoalan nama, tentu China tidak mau menjadi sasaran kemarahan warga dunia tanpa investigasi yang obyektif dan menyatakan ucapan Trump itu rasis serta mengandung Xenofobia. 

People Daily-Reuter yang disiarkan TV Jepang Asahi Corporation menyatakan bahwa dicurigai 14.000 orang AS meninggal karena inflluenza yang mungkin terkait virus corona. Diketahui bahwa pada tanggal 14  Februari 2020, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) telah memeriksa individu dengan penyakit seperti influenza di Los Angeles, San Fransisco, Seattle, Chicago dan New York (kontan.co.id, 24 Februari 2020). Juru bicara China Zhao Lijian kemudian menghubungkan hal tersebut dengan kemungkinan di antara 280 anggota delegasi AS yang pada bulan Oktober 2019 mengikuti The Military World Games di Wuhan justru sebagai pembawa virus corona ke China. 

Kedua negera adidaya yang baru saja sepakat mengakhiri perang dagang, memasuki babak baru perang pernyataan tentang asal usul virus penyebar Covid-19. Ketika kesepakatan fase pertama penghentian perang tarif antara kedua negara ditandatangani pada tanggal 15 Januari 2020, saat itulah gelombang penyakit misterius yang menurut sang dokter Whistleblower dr. Li Wenliang mirip SARS mulai menerpa Wuhan. Sejak awal AS mengkritik China yang lambat dalam memberikan informasi dan dianggap tidak transparan dalam menangani wabah Covid-19. Namun China dengan tegas menyebutkan bahwa AS sendiri sebenarnya bisa bertindak lebih awal, sehingga mungkin situasinya bisa lebih baik.  

Mana yang benar di antara keduanya, ini akan menjadi debat kusir yang tidak kunjung selesai karena tidak ada lembaga yang mendapat mandat untuk melakukan investigasi kasus seperti ini. Pada wabah Flu Babi tahun 2009, diketahui kasus pertama muncul di AS dan Meksiko,  meskipun dinyatakan sebagai pandemi namun angka kematian kasusnya rendah, sehingga tidak terlalu menimbulkan polemik. Sementara AS mengulang-ulang pernyataan bahwa sumber masalah berasal bocornya laboratorium Institut Virologi Wuhan. Sebaliknya China juga berprasangka bahwa virus berasal dari bocornya laboratorium senjata biologi militer AS di Fort Dertrick Maryland yang ditutup oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS pada Juli 2019. 

Berbeda dengan kasus dugaan senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction) millik Irak, di mana AS tanpa dukungan Dewan Keamanan PBB, lalu bersama sekutunya pada tahun 2003 melancarkan Operasi Pembebasan Irak dan meruntuhkan rezim Saddam Husein. Ada lembaga yang bertugas memverifikasi apakah suatu negara, seperti pada kasus Irak, benar atau tidak membuat senjata kimia dan nuklir, namun tidak ada mekanisme semacam itu untuk senjata biologi. Jadi siapa dan bagaimana akan melakukan invenstigasi terhadap asal sumber SARScoV-2 untuk membuktikan adanya kesalahan pengelolaan laboratorium militer AS atau China ?. Dugaan adanya berbagai konspirasi, menggambarkan bahwa komunitas internasional berkepentingan atas informasi Covid-19 murni bencana atau sengaja dipergunakan sebagai senjata biologi ?. Dalam hal ini menarik untuk kita cermati perilaku Korea Utara yang menggunakan isu tersebut untuk kepentingan domestiknya. 

Mencermati Korea Utara

Pada 14 April 2010 di Washington DC dilaksanakan Konferensi tingkat tinggi Keamanan Nuklir, yang menegaskan kembali keseriusan  negara-negara yang memiliki persenjataan nuklir untuk membatasi dan melucuti senjata nuklirnya. Kepemilikan Weapons of Mass Destruction (WMD), yang meliputi senjata kimia, senjata biologi dan senjata nuklir menjadi fenomena yang menarik dalam politik keamanan internasional (Purwanto, 2011). Isu tentang WMD terus mengemuka, di mana di satu sisi sebagian besar warga dunia diminta mentaati regulasi, namun ada pula yang hingga dekade saat ini menggunakan isu tersebut sebagai posisi tawar terhadap negara lain. contohnya Korea Utara yang selalu menjadi perhatian internasional dengan uji coba rudal balistiknya.

Bahkan dalam situasi keterbatasan karena pandemi Covid-19, pada 2 Maret 2020 Korea Utara masih sempat melakukan uji coba rudal balistik jarak pendek, sementara AS dan Korea Selatan menunda latihan bersama tahunan (www.kompas.com, 2 Maret 2020). Ini merupakan bukti bagaimana Korut tetap agresif memiliki banyak rencana cadangan mengatasi berbagai tekanan internasional dengan meningkatkan intensitas ancaman, namun juga seakan-akan sudah jinak menunjukkan inisiatif melakukan nonproliferasi WMD. Sebagai contoh menjelang pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korut Kim Jong Un dengan agenda denuklirisasi, dilaporkan bahwa Korut telah menghancurkan fasilitas uji coba rudal mereka di Kusong barat laut Korut pada Mei 2018. 

Kini di tengah masih merajalelanya pandemi Covid-19 dan isu yang mengaitkan SARScoV-2 dengan kegagalan pengamanan laboratorium senjata biologi militer China dan AS, menyeruak kembali informasi tentang kemampuan Korea Utara dalam memproduksi senjata biologi. Pada akhir tahun 2017 berkembang informasi bahwa Korut telah memulai uji coba memuat bakteri antraks dalam hulu ledak rudal balistik antar benua. Pada pertengahan 2017, Sputnik News bahkan sudah merilis keterangan pembelot Korut yang diwawancarai harian Jepang Sekai Nippo bahwa Korut memiliki ratusan drone yang mampu membawa senjata biologi dan kimia untuk menyerang Seoul dalam waktu satu jam (Sputnik News, 23 Mei 2017).
 

Bagi Kim Jong Un, kini pandemi Covid-19 memberi ide bahwa senjata biologi juga merupakan alat untuk memeras pihak lain dan nuklir bukan alat pemeras satu-satunya terhadap komunitas internasional. Senjata biologi dapat digunakan secara signifikan untuk investasi keuangan yang tidak bisa dimanfaatkan dari nuklir. Jadi pengembangan senjata biologi juga memungkinkan Korut di belakang layar tetap menekan AS dan sambil menjaga penampilan ramah di panggung internasional (wartaekonomi, 1 April2020).

Meskipun termasuk dalam jenis WMD, untuk senjata biologi tidak ada perjanjian global guna mencegah serangan senjata biologi. Terdapat Konvensi Senjata Biologi (KSB) sebagai suatu perjanjian internasional di bidang arms control yang melarang produksi dan penimbunan senjata biologi. Konvensi ini mulai berlaku pada 26 Maret 1975 dan ditandatangani 109 negara. Namun Konvensi Senjata Biologi belum dilengkapi sistem verifikasi bagi pengawasan kepatuhan negara-negara pihak terhadap ketentuan yang terkandung didalamnya, dan AS menolak pembuatan protokol pembentukan rejim verifikasi internasional tersebut (Direktorat KIPS Kemlu, 7 April 2019). Di sini tampak perangai AS yang “semau gue” sesuai sebutan sebagai polisi dunia. 

Sebuah usulan yang diinisiasi oleh Australia tentang perlunya penyelidikan internasional terhadap sumber SARScoV-2 mendapat dukungan 100 negara anggota WHO. Usulan ini menyebabkan hubungan Australia dan China memanas dan berkembang menjadi ancaman China terhadap komoditas perdagangan dan pariwisata Australia. Terhadap usulan tersebut, pada tanggal 19 Mei 2020, WHO menggelar forum Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA) dan menyatakan menyetujui resolusi yang meminta evaluasi secara mandiri dan menyeluruh tentang penanganan Covid-19. Akan tetapi resolusi tersebut tidak merinci bagaimana, kapan dan siapa yang akan melakukan evaluasi tersebut (aktualitas.id, 22052020).
  
Ancaman potensial telah menjadi ancaman faktual

Apa yang terjadi pada hampir seluruh dunia sebagai pandemi penyakit, khususnya Indonesia selama 6 bulan ini merupakan kondisi yang telah dipertimbangkan sebagai ancaman dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia (BPPI). Apa yang dikategorikan sebagai ancaman potensial, oleh BPPI, saat ini telah menjadi ancaman faktual, khususnya bencana dan wabah penyakit. Bukan tidak mungkin sebenarnya tujuan utama serangan senjata biologi hanya satu negara atau kawasan tertentu, namun karena mobilisasi manusia global maka terjadi perluasan transmisi Covid-19. Dinamika seperti ini tidak bisa dilepaskan dari rivalitas negara adidaya yang berebut pengaruh di Asia Pasifik dalam rangka penguasaan sumber daya alam, termasuk regional Laut China Selatan (LCS). Sepertinya bukan hal yang kebetulan bila di tengah pandemi, saat ini di kawasan LCS sedang terjadi ketegangan antara AS dan China dengan saling unjuk kekuatan militer.

Unjuk kekuatan di kawasan LCS tidak lepas dari klaim teritorial yang saling bersinggungan antar negara kawasan. Meskipun demikian BPPI menyebutkan bahwa potensi ancaman luar negeri berupa agresi militer itu kecil kemungkinannya (Kemhan, 2015 :1).  Perang konvensional antar dua negara ditengarai semakin kecil, sebaliknya kecenderungan ancaman terkini adalah terciptanya perang-perang jenis baru diantaranya perang asimetris, perang hibrida dan perang proxy serta perang cyber. Perang generasi terkini adalah perang modern, memadukan antara perang konvensional, perang jenis baru, perang yang tidak teratur dengan ancaman cyber, serangan nuklir—biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi.

Sebagai bencana non alam, wabah Covid-19 mengakibatkan memburuknya derajat kesehatan di 213 negara, memberatnya beban pelayanan kesehatan pada skala yang luas, serta membengkaknya beban ekonomi kesehatan dan sosial suatu bangsa. Wabah Covid-19 mengharuskan pemerintah Indonesia melakukan refocusing dan realokasi APBN senilai 405 T rupiah untuk penanganan dampak wabah. Pandemi Covid-19 juga mengakibatkan potensi ketergantungan teknologi kesehatan akibat lemahnya penguasaan IPTEK, khususnya kemampuan memproduksi vaksin yang tidak semua negara mampu melakukannya. Hal yang terakhir ini pun memicu spekulasi adanya konspirasi tertentu untuk meraih keuntungan dari industri obat dan vaksin.

Apabila kita cermati akumulasi seluruh dampak bencana Covid-19 tersebut merupakan karakteristik perang modern menggunakan senjata biologi yang sengaja dirancang untuk menguasai suatu negara, bedanya hal tersebut terjadi pada skala global berupa new emeging disease. Seperti halnya kemunculan penyakit Covid-19, ancaman wabah penyakit baru mungkin akan akan terus terjadi dan bersama dengan ancaman penyakit potensial wabah yang sudah ada, baik murni sebagai bencana atau akibat serangan senjata biologi, merupakan isu Keamanan Kesehatan Global (Global Health Security) yang harus disikapi seluruh negara. Baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, seluruh negara mengakui dan harus melakukan upaya terlibat penanganan masalah keamanan kesehatan global.

Untuk menghadapi perang modern dari aspek serangan biologi baik penyakit menular baru maupun penyakit potensial wabah, pada tataran strategis dipandang perlu terbinanya kesiapsiagaan para pemangku kepentingan dalam menghadapi setiap kedaruratan. Pengalaman Indonesia menghadapi penyebaran Flu Burung dan Covid-19, keberhasilan negara-negara lain dan kegagalan negara–negara maju yang tidak perlu diragukan lagi kemampuan sumber daya kesehatannya, namun tidak berdaya mengatasi kecepatan transmisi SARScoV-2 patut menjadi kajian. Pandangan strategis ini harus ditindaklanjuti dengan langkah nyata dalam kelembagaan, sumber daya dan anggaran.

Dengan demikian dalam menghadapi isu keamanan kesehatan global, hal-hal berikut ini patut untuk dipertimbangkan dan diwujudkan dalam aspek kelembagaan, baik eksternal maupun internal. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI melakukan diplomasi mendorong PBB membentuk lembaga permanen yang melaksanakan fungsi mekanisme verifikasi bagi kepatuhan negara-negara pihak dalam melaksanakan kewajiban KSB yang seharusnya ada seperti pada Konvensi Senjata Kimia (KSK) dan Traktat Nonproliferasi Nuklir. Di bidang pertahanan TNI berperan aktif melaksanakan upaya Confidence Building Measure melalui berbagai forum bilateral maupun multilateral, latihan bersama angkatan bersenjata dan operasi bantuan kemanuasiaan serta berbagai bentuk lain, sebagai salah satu model peredaan ketegangan negara kawasan. Melalui forum GHSA, Kemkes RI berperan aktif mendukung dan komitmen bersama berbagai negara melakukan upaya multisektoral untuk meningkatkan kapasitas negara baik mandiri maupun kerjasama mengantisipasi ancaman kesehatan global. 

Pada level domestik, perlu segera diterbitkan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional. Payung hukum tersebut diperlukan untuk melaksanakan pembentukan komponen cadangan dan komponen pendukung. Kedua komponen ini dapat dipergunakan dalam situasi kedaruratan nasional baik sumber daya manusia ahli maupun penggunaan infrastruktur. Demikiian pula perlu menetapkan lembaga penelitian, laboratorium riset institusi pendidikan dan kesehatan sebagai obyek vital negara. Peran lembaga tersebut terbukti penting dalam mengatasi kecepatan transmisi penyakit yang harus diimbangi dengan kecepatan diagnosis laboratoris dan memerlukan proteksi pengamanan dalam situasi perang modern.

Isu keamanan kesehatan global juga harus dihadapi dengan peningkatan kemampuan sumber daya baik melalui pengadaan material kesehatan maupun pengawak organisasi. Pandemi Covid-19 menelanjangi mafia yang membuat beaya pengadaan material kesehatan untuk penanganan wabah menjadi mahal dan tergantung kepada luar negeri. Pandemi Covid-19 menjadi momentum kebangkitan kesadaran untuk pengembangan industri alat kesehatan dan farmasi dalam negeri. Hal ini telah dibuktikan dengan produk  anak bangsa diantaranya berupa Rapid Test dan PCR kit untuk diagnosis, serta ventilator yang sangat vital untuk penanganan pasien yang terancam sindrom gagal napas. Temuan para virolog tentang adanya tiga strain SARScoV-2 di Indonesia yang tidak sama dengan yang sudah ada di bank data virus influenza dunia, seharusnya mendorong Indonesia memproduksi vaksin mandiri.

Pada lingkup TNI, seyogyanya lembaga farmasi, lembaga biovaksin dan lembaga penelitian TNI yang sudah ada dikembangkan menjadi pusat riset maupun industri farmasi TNI, yang dapat berperan sebagai komponen utama pada saat institusi sipil lumpuh dalam situasi perang. Validasi organisasi Kotama Operasi pada tiga wilayah Indonesia seyogayanya diimbangi dengan penggelaran satuan Zeni Nubika serta penguatan peran intelejen medis. Meskipun telah melakukan berbagai kerja sama sebagai upaya Confidence Building Measure,  tentu TNI juga mempersiapkan rencana kontijensi menghadapi ancaman keamanan kesehatan global, termasuk  penggunaan penyakit sebagai pola serangan yang terstruktur dirancang oleh negara tertentu yang mempunyai agenda tersembunyi menguasai Indonesia. Wasana Kata, “Si vis pacem, parabellum”, bukan hanya TNI, tetapi seluruh komponen bangsa.
.
Salam Indonesia Sehat.
Pudji Widodo, peserta Workshop GHSA-WHO 2017 dan Workshop Biosecurity WHO 2018.
Sidoarjo, 24 Mei 2020.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legwraps sepatu tentara bukan aksesori tanpa makna

Pengesahan Nama Korps, Satuan dan Baret KKO AL Sebagai Pasukan Pendarat Amfibi

Bukan Sekedar Membangun Citra, Kompi Protokol Mabes TNI AL Ganti Kostum