Patahnya Sayap Sang Burung Hantu
Patahnya Sayap Sang Burung Hantu
Oleh : Pudji Widodo
Bahaya laten radikalisme
Top Gun Maverick adalah film pertama yang saya tonton di gedung bioskop pada bulan Mei 2022 setelah tekanan pandemi Covid-19 mereda. Tidak mudah mengalahkan Covid-19, sampai hari ini jumlah kasus harian masih di kisaran 5000. Dari angka tersebut Jatim menyumbang sekitar 300 kasus.
Oleh karena itu ketika film Sayap-Sayap Patah (SSP) dirilis pada tanggal 18 Agustus 2022, dua hari kemudian saya memutuskan wajib menonton. Selain bermodal sudah booster vaksin, juga memberi apresiasi karya anak negeri. Satu lagi alasan, di tengah gerahnya negeri yang dipenuhi pemberitaan kasus Duren Tiga, barangkali Rudi Soedjarwo sutradara SSP, menawarkan sosok polisi dambaan masyarakat.
Barangkali ini pula yang ingin diperoleh ketika Kapolda Sumsel mengajak anggotanya untuk nobar SSP. Film SSP didasarkan kepada kisah nyata gugurnya 5 anggora Densus-88 AT ketika terjadi kerusuhan napi teroris di rutan napi Mako Brimob. Apa nilai yang kita peroleh sebagai keluarga, aparat sebagai pribadi, warga bangsa, bahkan mungkin aparat sebagai bagian dari penyelenggara negara dari film SSP ?
Sebagai warga bangsa kita diingatkan akan takdir kita lahir sebagai bangsa yang penuh keberagaman. Keberagaman yang diikat dengan Pancasila itu terus diuji, mana kala sekelompok kecil orang secara radikal ingin memaksakan kehendak mengubah tatanan bernegara atas nama agama. Di usia NKRI ke 77 tahun, sutradara SSP Rudi Soedjarwo mengingatkan agar kita terus menjaga dan mrmpertahankan kesepakatan para Bapak Bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Aparat negara di setiap lini dan perangkat institusi wajib melakukan tindakan preventif agar paham radikal dan intoleransi tidak tumbuh subur. Ini bukan hanya di bidang yang terkait pertahanan keamanan. Ketika Ryamizard Ryacudu menjabat sebagai Menhan, pernah melansir bahwa 3% prajurit TNI terpapar paham radikal (tempo.co, 30/7/2019). Bahkan sekelas guru besar perguruan tinggi pun menjadi pendukung ormas terlarang HTI.
Bila jaman orba terkenal jargon bahaya laten PKI, maka hal yang sama relevan untuk paham radikal. Seperti lirik lagunya SLANK, “Tak ada matinya,” begitu pula pola perjuangan penganut paham radikal. Penjara tidak selalu membuat mereka tobat. Karena itu program deradikalisasi pun seharusnya bukan hanya milik BNPT, tetapi juga lembaga pendidikan.
Loyalitas paripurna
Ada tradisi satuan ketika akan melaksanakan tugas operasi, yaitu mencium tunggul batalyon dan bendera perang sebagai tanda kesetiaan dan rela berkorban bagi kejayaan negara dan bangsa. Esok harinya keluarga ikut berkumpul di lapangan batalyon atau dermaga pangkalan. Suasana haru karena mungkin ini menjadi hari terakhir bertemu membuat beberapa perempuan istri prajurit terisak menangis.
Kematian bisa datang setiap saat melalui berbagai kejadian sesuai kehendak Tuhan. Berangkat tugas operasi menyadarkan setiap prajurit akan semakin dekat akhir hidup sebagai risiko tugas. Maka mereka yang memilih hidup bersama dengan orang-orang yang telah menjadi milik negara pun harus siap dengan kenyataan ini.
Demikian pula Adji anggota Densus 88 yang diperankan Nicholas Saputra dalam SSP. Mewakili entitasnya di satuan khusus Polri, menjalani anomali kehidupan keluarga yang berbeda dengan keluarga normal pada umumnya. Loyalitas kepada tugas membuatnya tak bisa berperan sebagai suami yang baik, bahkan untuk mengantarkan Nani istrinya memeriksakan kehamilan ke dokter.
Secara tidak langsung SSP juga memberi informasi kepada masyarakat tentang perbedaan satuan penanggulangan teror sebagai unit aksi khusus penindakan dengan satuan anti teror. Mobilitas Densus 88 aktif dalam peran preventif sebelum aksi teror terjadi, termasuk mencegah tumbuh kembang sel-sel kelompok teroris dengan penangkapan anggota jaringan teroris. Ini yang membuat Adji sebagai individu aparat hampir tak punya waktu untuk isterinya.
Hidup Adji berakhir bukan saat bertugas di lapangan, namun justru saat berada di lingkungan rumah tahanan para teroris. Gambaran kematian Adji terinspirasi dari kerusuhan rutan mako Brimob 2018 yang menyebabkan gugurnya 5 anggota Densus 88 di tangan teroris yang mereka jaga. Kehilangan orang tercinta dalam tugas bukan sekedar cerita, tetapi nyata.
Bagaimana dengan Nani yang dalam SSP diperankan Ariel Tatum ? Rudi Soedjarwo menampilkan konflik suami-isteri secara alami. Nani mungkin dianggap sebagai istri yang gagal memahami tugas suami, ketika memilih meninggalkan Adji kembali ke rumah orang tua. Padahal itu keputusan yang tepat untuk menyelamatkan kesehatan kehamilannya dan mempersiapkan persalinan tanpa kehadiran suami, sekali lagi sebagai risiko tugas.
Sebagai istri perwira Polri, Nani empati dengan keluarga bawahan suaminya. Dua bintara suaminya tewas ketika teroris meledakkan diri di markas polisi. Sebagai seorang istri dia didera kekhawatiran, karena setiap saat suaminya bisa meninggal dengan tragis. Nani mewakili ribuan istri polisi yang harus berani mengambil sikap.
Mirip dalam film American Sniper ketika ribuan warga warga AS berdiri di pinggir jalan raya dan di persilangan fly over, mengantar almarhum Chris Kyle veteran US Navy SEAL menuju pemakaman. Seperti itu Rudi Soedjarwo menampilan situasi saat masyarakat mengantar dan memberi penghormatan pada pemakaman Adji di layar bioskop.
Komparasi dan Kontemplasi
Film SSP hadir ketika masyarakat didera suguhan skandal Duren Tiga. Dalam SSP kita melihat gambaran kerelaan bhayangkara Polri menyerahkan hidupnya, gugur terhormat untuk kemaslahatan masyarakat. Sebuah bentuk loyalitas paripurna, meletakkan kepentingan tugas melebihi kepentingan pribadi.
Sebaliknya di Duren Tiga kita melihat seorang jenderal dengan sadar melakukan pembunuhan berencana, menghilangkan nyawa anak buah untuk menegakkan kehormatan pribadi dan gagal mengendalikan emosi untuk individu sekelas perwira tinggi. Sang jenderal lupa bahwa selama dinas aktif, standar kode kehormatan Polri menjadi ukuran tertinggi, bukan kepentingan pribadi.
Tersangka kasus Duren Tiga meminggirkan solusi yang sebenarnya telah tersedia perangkat hukumnya (andai benar peristiwa Magelang itu nyata). Tersangka FS menyalahgunakan jabatan dengan merekayasa kasus; menghilangkan barang bukti dan merusak TKP. Perilaku tidak satria sang jenderal juga menyebabkan puluhan bhayangkara terlibat obstruction of justice dan terpuruknya kepercayaan masyarakat kepada institusi Polri.
Di SSP kita melihat keberanian perempuan mengambil keputusan mandiri untuk bakal kehidupan bayi meski harus terpisah dari suami yang loyal kepada tugas. Di Duren Tiga kita melihat ironi, isteri pejabat yang mendukung kejahatan kemanusiaan, apapun pencetusnya.
Mari kita perhatikan logo walet hitam Satuan Gegana Brimob dan logo burung hantu Densus 88 AT Polri. Film SSP menumbuhkan harapan baru. Sayap burung walet hitam dan burung hantu Polri bisa patah, tetapi selalu lahir generasi baru walet hitam dan burung hantu bhayangkara Polri.
Walet hitam dan burung hantu Polri siap terbang kembali mengamati dan menindak pelaku kejahatan berintensitas tinggi termasuk aksi teror. Demikian pula ketika skandal Duren Tiga mendera Polri, terbukti Polri telah mengambil langkah cepat untuk memulihkan sayapnya yang patah agar dapat terbang kembali. Selamat bersih-bersih Polri (pw).
Pudji Widodo,
Sidoarjo, 28082022 (123).
Dapat dibaca di Secangkir Kopi Bersama, 29/8/2022.
Komentar
Posting Komentar