Gugurnya Prajurit Raider, Momentum Merevisi Tugas TNI
Oleh : Pudji Widodo
Bukan hanya persoalan teknis dan taktis
Sabtu 15 April 2023 menjadi hari terakhir penugasan Pratu Miftahul Arifin, Pratu Ibrahim, Pratu Kurniawan, Pratu Sukra dan Pratu Faris Khairuddin di tanah Papua. Menurut papua.tribunnews.com (16/4/2023) hari telah sore ketika Pos Mugi Mam Distrik Mugi Kabupaten Nduga tempat kedudukan 20 personel Yonif 321 Raider/Galuh Taruna dan 16 personel Kopassus diserang Kelompok Separatis Teroris (KST). Kelima prajurit Yonif 321 R/GT tersebut gugur akibat serangan KST, empat diantaranya karena luka tembak dan Pratu Faris akibat jatuh ke dalam jurang sedalam 140 m.
Selain 5 prajurit gugur, serangan KST yang melibatkan warga perempuan dan anak-anak juga menyebabkan 7 prajurit luka-luka. Ini adalah kerugian personel terbesar sejak awal tahun 2023 selama TNI membantu Polri dalam operasi penegakan hukum di Papua. Jatuhnya korban yang relatif besar, yaitu 30% dari 36 prajurit dalam satu susunan peleton yang sedang beraksi menuju target tugas menjadi perhatian masyarakat.
Bukan hanya ekspresi keprihatinan karena dukacita saja, namun juga menyangkut akuntabilitas tugas TNI dalam pembinaan dan penggunaan kekuatan. Dalam peleton gabungan tersebut terdapat tim Candrasa 2 dan Candrasa 11 Kopassus yang masing-masing dipimpin seorang Letnan Dua (jawapos.com, 20/4/2023).
Peleton gabungan Raider dan Kopassus tersebut sedang terlibat upaya penyelamatan Pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens, warga Selandia Baru yang disandera KST.
Pasca gugurnya prajurit Raider, TNI AD menjelaskan akan melakukan evaluasi sistem pelatihan prajurit. Ini merupakan penjelasan rutin, karena insiden tersebut menambah panjang catatan pengalaman TNI dalam berbagai operasi militer. Kontak tembak pada patroli tempur, pertempuran perjumpaan, penghadangan, serangan pemukiman dan berbagai situasi teknis dan taktis lazim dialami prajurit di berbagai medan tugas.
Laporan dari lapangan pasti ada dan bahkan mungkin menjadi bahan kajian institusi pengembangan taktik di lembaga pendidilan TNI. Sejarah mencatat prajurit infanteri sesuai kecabangannya dibekali pelatihan Yudha Wastu Pramuka, Infanteri Gaya Baru (Ifgaba) dan Raider untuk menjawab tantangan tugas pada era yang berbeda-beda. Pelatihan Raider perdana tahun 1953 melahirkan Batalyon 431/Banteng Raiders, kemudian Raider program pemantapan 100 Batalyon ABRI tahun 1980 dan Raider yang diinisiasi KASAD Jendral TNI Ryamizard Ryacudu tahun 2003 hingga kini, adalah bukti kesungguhan TNI dalam pembinaan kekuatan.
Namun gugurnya prajurit tidak hanya dilihat sebagai persoalan teknis dan taktis di lapangan sebagai hasil pembinaan kekuatan TNI. Proses perencanaan militer sebelum operasi dilaksanakan telah dikaji holistik dari berbagai aspek baik intelijen, operasi, personel maupun logistik. Selain mengkaji setiap aspek tersebut, menguak regulasi yang mendasari penugasan tersebut juga patut menjadi pertimbangan. Dasar dari penggunaan kekuatan pada kegiatan operasi tersebut adalah kebijakan yang bersifat strategis serta regulasi yang mengiringinya.
Dalam upaya pembebasan sandera tersebut Kapolda Papua Irjen Pol. Mathius D Fakhiri menjelaskan bahwa Polri bertugas sebagai negoisator dan TNI bertugas membantu Polri menegakkan hukum (detik.com, 2/5/2023). Regulasi penggunaan kekuatan berupa perbantuan TNI tersebut didasarkan kepada UU Nomor 34/2002 tentang TNI. Regulasi penggunaan kekuatan berupa perbantuan TNI tersebut didasarkan kepada UU Nomor 34/2002 tentang TNI sebagai salah satu dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Mengatasi ancaman militer KST bukan tugas perbantuan tetapi tugas utama TNI
Menurut UU Nomor 34 Tahun 2004 pasal 7 ayat 2, TNI melaksanakan tugas sebagai alat pertahanan dalam dua bentuk operasi. Tugas TNI dilaksanakan dengan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Kedua pelaksanaan tugas TNI tersebut harus disertai keputusan politik negara.
Sebagai alat pertahanan, fungsi TNI adalah penangkal, penindak setiap ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri serta pemulih kondisi keamanan negara yang terganggu. Pasal 6 UU TNI jelas menyebutkan dalam melaksanakan fungsinya, TNI merupakan komponen utama sistem pertahanan. Dengan tugas dan fungsi tersebut, bagaimana TNI harus bersikap terhadap KST ?
Kelompok pengganggu keamanan di Papua memiliki motivasi kemerdekaan, ingin melepaskan diri dari NKRI, memiliki struktur organisasi angkatan bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan pembagian komando wilayah lengkap pangkat dan jabatan, bersenjata serta menggunakan bendera nasional. Kelompok tersebut merupakan gerakan separatis, bukan hanya aksi kriminal intensitas tinggi. Oleh karena itu sudah tepat TNI konsisten menggunakan istilah kelompok separatis.
Sesuai penjelasan pasal 7 UU Nomor 3/2002 tentang Pertahanan, KST dan kekuatannya menunjukkan karakter ancaman militer yang berbentuk pemberontakan bersenjata. Jenis ancaman ini merupakan porsi tugas TNI sebagai komponen utama pertahanan untuk menangkal; menindak dan memulihkan gangguan keamanan. Namun deskripsi ini bertentangan dengan realita di mana Organisasi Papua Merdeka (OPM) direduksi hanya menjadi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), meskipun kemudian resmi dinyatakan sebagai organisasi teroris
Sejak 22 April 2021, pemerintah melalui Menkopolhukam resmi menyatakan KKB sebagai organisasi teroris. Status ini memperkuat legalitas tugas TNI mengatasi KST. Meskipun demikian tugas TNI tidak berubah, tetap merupakan perbantuan kepada Polri sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004 pasal 7 ayat 2.b nomor 3 (mengatasi aksi terorisme) dan nomor 10 (membantu Polri dalam tugas keamanan dan ketertiban masyarakat). Peran TNI mengatasi terorisme juga diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang tindak pidana terorisme pasal 43.I.
Dengan demikian terdapat ketidakselarasan antara pasal 6 dan pasal 7 UU TNI dalam penerapan mengatasi aksi KST. Jenis ancamaqn militer seharusnya menempatkan TNI sebagai komponen utama untuk mengatasi KST, sedang terhadap KST sebagai organisasi teroris pemerintah menempatkan TNI dalam tugas perbantuan kepada Polri.
Pemerintah lebih memilih menangani KST bersandar pada status organisasi teroris dan menempatkan TNI sebagai "pembantu" Polri. Pemerintah tidak menempatkan KST sebagai pemberontak bersenjata yang menjadikan TNI sebagai aktor utama dalam sistem pertahanan yang mengalami ancaman militer.
Memang ada yang resisten bila TNI dominan dalam mengatasi ancaman KST Papua. Hal ini menjadi tantangan bagi TNI agar kehadirannya di Papua tidak mendorong peningkatan pelanggaran HAM dan kekerasan politik. TNI harus mengefektifkan strategi penanggulanan ancaman militer KST dalam rangka menjaga kedaulatan, melindungi rakyat, menjaga stabilitas keamanan dan pembangunan serta tunduk kepada hukum.
Tidak memberi kewenangan TNI sesuai porsi, mungkin sebagai upaya pemerintah menekan risiko timbulnya kasus pelanggaran HAM yang akan menjadi catatan sejarah masa kekuasaannya. Hal ini karena berlakunya asas retroaktif dan prinsip tidak mengenal kedaluwarsa terhadap kasus pelanggaran HAM berat. Perpres yang mengatur kewenangan TNI sesuai amanat UU Nomor 5/2018 tentang tindak pidana terorisme pun hingga kini belum terbit. Sementara konsistensi TNI menggunakan istilah KST bermakna siap menjadi komponen utama mengatasi ancaman militer KST, tunduk kepada hukum, melaksanakan tugas terukur dan memenuhi nilai akuntabilitas.
Operasi militer perang atau operasi militer pertahanan ?
Sepanjang berdirinya, NKRI memiliki pengalaman berperang dengan negara lain maupun mengalami pemberontakan dalam negeri. Pengalaman tugas TNI sebagai alat pertahanan menghadapi ancaman eksternal dan ancaman di dalam negeri bisa diringkas sebagai operasi militer pertahanan, bukan hanya operasi militer perang dengan negara lain. Hal ini juga karena kita menganut pola defensif aktif, dan tidak seperti Amerika Serikat yang menganut doktrin agresif dan ekspansif.
Adanya ketidakselarasan antara fungsi TNI pada pasal 6 dan tugas TNI pada pasal 7 UU TNI dalam menangani aksi KST dapat diatasi bila istilah operasi militer perang diganti dengan operasi militer pertahanan. Hal ini ditempuh dengan menggabungkan beberapa tugas dalam OMSP dengan tugas OMP sebagai operasi militer pertahanan (tni.mil.id, 15/6/2012).
Maka Operasi militer pertahanan yang merupakan gabungan dari tugas OMP dan beberapa tugas OMSP meliputi :
- Mengatasi berbagai bentuk agresi
- Mengatasi gerakan separatis bersenjata;
- Mengatasi pemberontakan bersenjata;
- Mengatasi aksi terorisme;
- Mengamankan wilayah perbatasan;
- Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis;
- Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri;
- Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya;
- Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta;
- Mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia.
Termasuk operasi militer pertahanan adalah melaksanakan patroli di seluruh wilayah darat serta wilayah yurisdiksi laut dan udara. Dari seluruh operasi militer pertahanan yang memerlukan keputusan politik negara adalah mengatasi agresi, gerakan separatis dan pemberontakan bersenjata serta terorisme.
Selanjutnya beberapa tugas TNI lainnya yang selama ini menjadi bagian dari OMSP diusulkan dikelompokkan menjadi operasi militer perbantuan. Jadi operasi militer perbantuan meliputi membantu pemerintahan daerah; membantu Polri dalam tugas keamanan dan ketertiban masyarakat, penanggulangan bencana alam, bantuan kemanusiaan; tugas SAR, pengamanan pelayaran dan penerbangan. Tugas-tugas perbantuan TNI dapat bertambah dengan adanya lembaga pemerintah non kementerian baru.
Baik operasi militer pertahanan maupun operasi militer perbantuan tetap dilaksanakan sesuai prinsip pertahanan negara bersifat semesta. Pertahanan negara bersifat semesta diantaranya melibatkan segenap sumber daya nasional untuk menghadapi ancaman pada berbagai dimensi baik militer; politik; keamanan dan ketertiban masyarakat, lingkungan dan ekonomi. Ragam dimensi ancaman jelas menuntut peran multi aktor keamanan nasional.
Selama ini semua lini ancaman dibebankan secara institusional pertahanan dan keamanan, yang dipersepsikan terpisah menghadapi ancaman dari luar dan dalam negeri. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan dan muncul area abu-abu pada fungsi dan kewenangan antara TNI dan Polri, termasuk dalam mengatasi KST. Area abu -abu peran, fungsi dan tugas TNI dapat dihindari dengan menggabung beberapa tugas OMSP dan OMP TNI menjadi tugas operasi militer pertahanan dan itu berarti perlu dilakukan revisi UU TNI. Penggolongan operasi militer pertahanan akan mempertegas dalam mengukur kinerja dan nilai akuntabilitas tugas TNI.
Penggabungan beberapa tugas OMSP TNI menjadi operasi militer pertahanan juga tidak akan mereduksi tugas Polri menurut Pasal 13 UU Nomor 2/2002. Bila kita cermati salah satu tugas Polri adalah "memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat." bukan seluruh dimensi Keamanan Nasional total. Seperti halnya sistem pertahanan yang tidak menempatkan TNI sebagai aktor tunggal pertahanan.
Penutup
Mengulik gugurnya prajurit Raider, bukan hanya teknis dan taktis tetapi juga untuk menguak regulasi perbantuan TNI kepada Polri. Regulasi yang menjadi dasar pembinaan dan penggunaan kekuatan TNI. Regulasi yang seakan memasung kemampuan TNI sebagai komponen utama pertahanan militer karena stigma represi dan otoritarian yang pernah direpresentasikan TNI.
Reformasi telah berjalan 26 tahun, selama itu pula reposisi TNI telah menempatkannya sebagai tentara profesional, yang melaksanakan tugas secara terukur dan memenuhi nilai-nilai akuntabilitas. Namun selama itu pula TNI tidak optimal melaksanakan tugas yang diamanatkan sebagai komponen utama pertahanan militer, akibat adanya ketidakselarasan penerapan ketentuan fungsi dan tugas TNI.
Selaku alat pertahanan dengan fungsi sebagai kekuatan penangkal, penindak dan pemulih, TNI memiliki sumber daya yang besar, namun menjadi idle capacity akibat ketidakpastian tugas TNI sebagai komponen utama pertahanan. Ketidakpastian tugas TNI berkaitan dengan kerancuan batasan sistem pertahanan dan sistem keamanan dihadapkan kepada luasnya dimensi Keamanan Nasional. Maka usul perubahan atas UU Nomor 34/2002 tentang TNI khususnya dalam mengatur kepastian tugas TNI, sebenarnya juga menguak akar persoalan yaitu belum adanya suprasistem Keamanan Nasional (pw)
Telah diunggah untuk Secangkir Kopi Bersama, 10/5/2023.
Komentar
Posting Komentar