Ida Dayak di Tengah Dinamika Regulasi Kesehatan Nasional
(demo penolakan RUU Kesehatan, foto : sindonews.com, 8/5/2023)
Oleh : Pudji Widodo
Ke luar negeri atau ke praktik Ida Dayak sebagai pilihan berobat
Selama pandemi Covid-19 dan melandainya krisis kesehatan, konsolidasi di berbagai sektor terus diupayakan dibangun sesuai strategi penanggulangan penyakit Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Belum genap tiga bulan pasca PPKM terhadap pandemi Covid-19 dicabut, Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia berpotensi kehilangan devisa 165 T rupiah karena 2 juta orang Indonesia berobat ke luar negeri (6/3/2023). Terkuaknya data tersebut menjadi tantangan pelayanan kesehatan di tanah air dan menambah beban upaya pembangunan kesehatan.
Pada sisi lain, masyarakat tidak pernah mengetahui adanya pasien-pasien yang mengalami kegagalan pengobatan di luar negeri. Mereka ini justru sembuh setelah melanjutkan pengobatan di rumah sakit tanah air, bahkan lalu menggunakan biaya BPJS. Sebuah kondisi paradoks yang menjadi konsumsi diskusi internal grup perpesanan antar sejawat dokter, karena tidak mungkin membuka rahasia medis ke publik sekedar untuk mengimbangi kritik masyarakat. Meskipun demikian testimoni pesohor Kiky Saputri yang mewakili masyarakat menyuarakan keluhan tentang pelayanan kesehatan di tanah air, tetap patut mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan.
Di tengah perbincangan adanya warga berobat ke luar negeri, terdapat fakta masyarakat berbondong-bondong antusias mendatangi praktik pengobatan tradisional Ida Dayak, situasi yang pernah muncul juga pada dukun cilik Ponari di Jombang dan Ningsih Tinampi di Mojokerto. Mereka mewakili praktik sejenis yang diakui keberadaannya di tengah masyarakat, ketika dunia bergerak menuju society 5.0. Bahkan Guruh Soekarnoputra dan tokoh nasional Sutiyoso juga Hendropriyono tak perlu gengsi merasakan pertolongan pijatan Ida Dayak.
Antusias masyarakat terhadap pengobatan tradisional dan catatan masih adanya kegagalan pelayanan dasar dan rujukan yang di viral di media sosial, merupakan pengingat kepada penyelenggara negara untuk tidak pernah berhenti meningkatkan akses warga negara memperoleh hak hidup sehat yang dijamin konstitusi. Implementasi hak hidup sehat dalam konstitusi tertuang dalam berbagai regulasi nasional tentang kesehatan. Sejarah regulasi kesehatan menunjukkan tanggung jawab pemerintah dalam mewujudkan pembangunan bidang kesehatan tak pernah berhenti seiring berubahnya berbagai faktor yang mempengaruhi baik nasional, regional dan global.
Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional adalah upaya yang tak akan pernah berhenti sepanjang berdirinya NKRI. Berbagai perangkat yang mengatur penyelenggaraan kesehatan pun hadir silih berganti. Undang-undang Kesehatan tahun 2009 pun terbit mengganti UU Kesehatan tahun 1992. Menyusul kemudian adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional, termasuk Jaminan Kesehatan Nasional. Juga telah beberpa kali terjadi perubahan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) sejak tahun 1982, 2004, 2009 dan 2012.
Sampai akhirnya pandemi Covid-19 menjadi momentum yang menyadarkan seluruh pemangku kepentingan bahwa semua sistem yang dibangun untuk mewujudkan benteng ketahanan kesehatan seakan-akan tidak berarti. Menyikapi hal tersebut, Kementerian PPN/Bappenas menyatakan : “Menilik kembali yang terjadi dalam 20 tahun terakhir, Indonesia membutuhkan reformasi berupa perbaikan menyeluruh pada sistem kesehatan nasional, tidak hanya memastikan surveilans dapat semakin baik dilakukan selama pandemi Covid-19 terjadi dan belum berakhir, namun juga memastikan Indonesia siap menghadapi ancaman wabah/outbreak/pandemi dan kedaruratan kesehatan lainnya.” (Buku Putih Reformasi Sistem Kesehatan Nasional, 2022 : 7).
Rekomendasi Bappenas : reformasi kesehatan
Urgensi reformasi sistem kesehatan nasional yang dinyatakan oleh Bappenas merupakan arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas pada tanggal 5 Januari 2021. Meskipun disampaikan pada situasi penanggulangan pandemi, namun hal ini bukan hanya sebagai respons atas terjadinya pandemi Covid-19. Reformasi kesehatan juga diperlukan untuk meningkatkan kapasistas sistem kesehatan nasional dalam jangka panjang, upaya resilien dan mengantisipasi pandemi penyakit di masa mendatang serta mengatasi berbagai permasalahan kronis pembangunan kesehatan nasional. Lebih dari itu reformasi kesehatan seakan-akan menunjukkan pelaksanaan SKN periode sebelumnya jalan di tempat dan tidak mampu memberi terapi yang adekuat terhadap penyakit kronis pembangunan kesehatan.
Sebelum pandemi Covid-19, telah terbit instruksi Presiden Nomor 4/2019 tentang berbagai upaya untuk mewujudkan health security dan health resilience. Regulasi yang lebih tinggi adalah UU Nomor 4 tahun 1984 tentang wabah dan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Namun implementasi upaya yang mengacu kepada regulasi tersebut belum didukung dengan kapasitas SKN yang optimal. Bappenas mencatat kelemahan kapasitas SKN tampak dari lemahnya komunikasi risiko pada awal pandemi, kapasitas pencegahan dan mitigasi, integrasi sistem surveilans, kapasitas fasilitas kesehatan (jumlah fasilitas, APD, manajemen kasus), persoalan mobilisasi pembiayaan kesehatan serta pemanfaatan teknologi informasi.
Robohnya ketahanan kesehatan diterjang gelombang pandemi yang menjalar kepada terganggunya berbagai dimensi kehidupan bukan hanya melanda Indonesia, namun juga ketahanan kesehatan global. Kenyataannya ini juga menguatkan tekat bahwa sebagai bagian dari masyarakat internasional yang saling tergantung dalam berinteraksi, kita tidak bisa hanya mengandalkan negara mitra, namun harus tetap memiliki struktur ketahanan kesehatan yang kokoh mandiri. Hal tersebut juga diperlukan karena belum tercapainya berbagai parameter pembangunan kesehatan yang telah menjadi beban berkepanjangan.
Berbeda dengan Bappenas yang menerbitkan konsep reformasi SKN sebagai Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2022 sesuai arahan Presiden pada awal tahun 2021, Kemenkes RI pada Juli 2021 mencanangkan program Transformasi Kesehatan. Kemenkes memilih istilah yang lebih lunak, yaitu perubahan sebagai respons terhadap dampak pandemi Covid-19. Pilihan istilah reformasi atau transformasi bagi masyarakat mungkin tidak akan dipersoalkan, karena sebagai subyek dan obyek pembangunan kesehatan, masyarakat lebih mendambakan outcome program.
Tujuan setiap periode SKN umumnya meliputi terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, yang berhasil dan berdaya guna dan tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Rangkaian narasi transformasi kesehatan juga terungkap dalam setiap periode pergantian SKN, yang berbeda mungkin strategi pencapaian dan faktor-faktor yang mempengaruhi pada setiap periode serta meningkatkan jenis upayanya. Dalam SKN 2004 terdapat lima subsistem kesehatan yaitu upaya kesehatan, pembiayaan, Sumber Daya Manusia, obat/perbekalan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya SKN 2009 berubah menjadi 6 subsistem kesehatan dengan masuknya unsur manajemen informasi kesehatan, sedang SKN 2012 menambah subsistem penelitian dan pengembangan kesehatan. Perubahan level regulasi SKN yang sebelumnya adalah produk Keputusan Menkes menjadi Peraturan Presiden pada SKN 2012 mungkin juga dimaksudkan agar lebih berdaya mendorong setiap komponen bangsa untuk terlibat dalam pembangunan kesehatan.
Menarik untuk dicermati pilar pertama transformasi sistem kesehatan 2022 berupa pelayanan primer mengutamakan upaya promotif dan preventif. Dokumen SKN 2004 sebagai lampiran Kepmenkes Nomor 131/Menkes/SK/II/2004 juga menyebutkan masih kurangnya penyelenggaraan upaya kesehatan promotif dan preventif pada implementasi SKN periode sebelumnya. Artinya program yang dicanangkan Kemenkes RI pada tahun 2021 mengakui kegagalan yang sama pada program SKN 1982. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator yang sensitif terhadap pencapaian status kesehatan.
Hingga saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) masih di kisaran 305 per 100.000 kelahiran hidup sesuai SUPAS 2015, hanya sedikit lebih baik dari tahun 1997 ketika AKI mencapai 318, dihadapkan kepada target 183/100.000 pada tahun 2024. Bayi dan balita pun harus kita selamatkan dari ancaman kematian. Prevalensi stunting balita 24,4% pada SSGI 2021 masih tergolong tinggi. Insidensi TBC tercatat 301 per 100.000 penduduk pada tahun 2020 menjadikan Indonesia menempati peringkat ke-3 dunia (Global TB Report, 2021). Dalam hal pelayanan kesehatan, pemenuhan fasilitas dan tenaga kesehatan kurang, hingga triwulan III tahun 2021 baru 56,4% FKTP dan 88,4% RS terakreditasi dan masih ada 4,97% puskesmas tanpa dokter. Angka-angka tersebut menggambarkan sulitnya kita mewujudkan pembangunan kesehatan yang diamanatkan dalam RPJMN 2020-2024.
Bukan hanya di tingkat domestik dilakukan evaluasi parameter keberhasilan penyelenggaraan kesehatan pada setiap periode berlakunya SKN, namun juga kita harus memacu pembangunan kesehatan karena tuntutan global. Laporan WHO tahun 2000 mencatat indikator pencapaian dan indikator kinerja SKN terhitung rendah. Indikator pencapaian SKN menempatkan Indonesia berada pada urutan ke 106 dari 191 negara anggota WHO, sedang menurut indikator kinerja SKN, Indonesia berada pada posisi 92 dari 191 negara anggota WHO yang dinilai. Pembangunan kesehatan juga menyesuaikan dengan target yang dicanangkan Millennium Development Goals (MDGs) dan dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Maka kegagalan Indonesia dalam memenuhi target SDGs dan acuan pembangunan kesehatan tak bisa kita sembunyikan lagi dari pandangan mata dunia.
Penutup
Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 merupakan koreksi terhadap UU Kesehatan tahun 1992 yang lebih menitik beratkan kepada upaya kesehatan kuratif. Sedang paradigma sehat dalam UU kesehatan tahun 2009 mengutamakan upaya kesehatan promotif dan preventif. Lalu pandemi Covid-19 mendorong kita yang diwakili Bappenas mengakui perlunya reformasi kesehatan, yang oleh Kemenkes RI dicanangkan lebih lunak sebagai enam pilar transformasi kesehatan. Masyarakat mungkin menyambut getir reformasi atau transformasi kesehatan yang dicanangkan pada pertengahan 2021 dengan pertanyaan akan mengoreksi apa lagi, setelah melihat lambatnya kita mencapai berbagai indikator pembangunan kesehatan sampai program RPJMN 2020-2024 usai.
Dalam situasi tersebut berkelindan upaya pemerintah bersama DPR dalam proses legislasi RUU Kesehatan Omnibus Law (OBL). Sejarah kembali mencatat perlunya perubahan total sistem kesehatan yang direkomendasikan Bappenas, “kebetulan” tidak lama kemudian diikuti dengan munculnya inisiatif pemerintah mengusulkan perlunya RUU Kesehatan OBL. Meskipun mengandung narasi penguatan sistem kesehatan nasional, perubahan total terhadap 10 jenis UU yang berkaitan dengan bidang kesehatan yang telah ada mendapat resistensi berbagai organisasi profesi kesehatan.
Rakyat akan mengamati apakah reformasi kesehatan versi Bappenas, program transformasi kesehatan Kemenkes RI dan RUU Kesehatan OBL mampu mengentas derajat kesehatan masyarakat menjadi lebih baik. Namun yang pasti masyarakat tidak bisa menunggu sampai ada solusi terhadap persoalan dan isu maldistribusi tenaga kesehatan, kriminalisasi tenaga kesehatan, eksistensi organisasi profesi kesehatan, kehadiran dokter mancanegara dan debat pendidikan dokter spesialis versi university base atau hospital base untuk mendapat pelayanan kesehatan. Mungkin masyarakat juga akan mendapat tontonan proses yudicial review terhadap RUU Kesehatan OBL.
Kini praktek pengobatan Ida Dayak telah sepi dari perhatian media. Namun sementara semua persoalan regulasi kesehatan tersebut sedang dalam pembahasan, maka kita harus memaklumi bila ribuan pasien kembali rela datang berbondong-bondong antri di tempat praktek pengobatan ala Ida Dayak yang lain. Para pengobat tradisional ini masih dipercaya masyarakat dapat langsung menjawab persoalan kesehatan yang mereka sandang. Meski regulasi kesehatan terus berganti, bahkan kini direformasi, (pw).
Pudji Widodo,
Sidoarjo, 28 Mei 2023.
Telah diunggah di secangkirkopibersama, 28/5/2023.
Komentar
Posting Komentar